Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2022

Ivan Susanto Hartono:“Kemungkinan tidak akan ada pertumbuhan”

Gambar
Executive Director PT Sumber Mas Indah Plywood Ivan Susanto Hartono menyebutkan tahun depan akan lebih berat lagi dibanding tahun ini. Ia sendiri memprediksikan tidak akan ada pertumbuhan, “Yang terjadi justru stagnasi karena end-user akan sulit memenuhi kebutuhannya karena kenaikan harga-harga,” ujarnya. Belum berakhirnya krisis Ukraina-Russia telah menyulut krisis listrik, gas dan bahan bakar, serta krisis bahan pangan. Resesi global pun mulai mengancam di tahun depan. Itu sebabnya ia memfokuskan diri untuk mengantisipasi perubahan yang akan terjadi di tahun depan. “Tahun ini bisnis bisa dibilang unik dan posisi kami masih cukup solid sekalipun ada penurunan dalam produksi,” lanjutnya. Ikuti kutipan perbincangan dengan Redaksi WoodNewsID di bawah ini.  WoodNewsID: Bagaimana bisnis tahun ini? Ivan Susanto Hartono: Bisnis tahun ini agak unik kalau mau dibilang, dibanding tahun sebelumnya. Kami sudah antisipasi sejak tahun lalu. Tahun lalu situasinya sangat menjanjikan. Semua manufa

Lokakarya Desain Furnitur untuk Peningkatan Ekosistem Furnitur

Gambar
Dominasi UMKM dalam i ndustri furnitur dan kerajinan Indonesia memerlukan peningkatan kapasitas untuk dapat bersaing dengan perkembangan tren desain furnitur. Pasar furnitur sangat dipengaruhi faktor tren, perubahan kebijakan hingga kejadian luar biasa seperti pandemi. Melihat kebutuhan ini, Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari , Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Multistakeholder Forestry Programme Fase Empat (MFP4) menyelenggarakan seri lokakarya peningkatan kapasitas desainer dan produsen furnitur agar dapat memperkuat ekosistem furnitur di Indonesia. Lokakarya dilaksanakan di tiga sentra industri furnitur Indonesia , Jepara, Pasuruan dan Yogyakarta. Pada seri akhir di Yogyakarta, kegiatan ini menggandeng Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO) sebagai mitra utama dan Dinas Perindustrian. Kegiatan ini mempertemukan pelaku industri furnitur dan kerajinan dengan desainer, pengusaha ritel, asosiasi, dan pemangku kebijakan. M e

Asmindo membidik Korea Selatan sebagai pasar alternatif

Gambar
Ketua Umum Asosiasi Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Dedy Rochimat mengatakan pihaknya selalu terbuka untuk  bekerja sama dengan berbagai pihak termasuk Korea Selatan guna meningkatkan kinerja ekspor nasional. Hal i ni diungkap kan  Dedy dalam Business   Matching  antara Asmindo dengan delegasi Korean   Importers   Association  yang berlangsung pada 21 Oktober lalu di South78, Serpong, Tangerang.   Acara yang terselenggara berkat kerja sama Asmindo d eng an Atase Perdagangan Kedu taan Besar  R epublik Indonesia  di Seoul, diikuti 70 buyer  asal Korea Selatan bertujuan melakukan negosiasi bisnis dengan anggota Asmindo. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan pada tahun 2021 kontribusi industri mebel dan kerajinan terhadap perolehan devisa negara tercatat sebesar USD 2,88 miliar. Meningkat 32,71% dibanding tahun sebelumnya yang hanya mencapai USD 2,17 miliar.   Negara-negara tujuan ekspor mebel dan kerajinan Indonesia masih didominasi pasar-pasar tradisional, yaitu Am

Terancamnya Ketahanan Bahan Baku

Gambar
“Posisi kita hingga hari ini masih bergulat dengan bahan baku”. (Aron Yongky, Sekretaris Jenderal Indonesia Sawmill and Woodworking Indonesia) Pernyataan di atas bukanlah sesuatu yang hyperbola. Realitasnya hingga saat ini, industri mebel dan kerajinan Indonesia yang berbasiskan kayu solid dan rotan memang mengalami kendala serius dalam memenuhi kebutuhan bahan bakunya. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memperlihatkan produksi kayu bulat nasional pada tahun 2019 yang sebesar 48,77 juta meter kubik. 55,92 juta meter kubik pada tahun 2020, dan sebesar 55,29 juta meter kubik pada tahun 2021. Yang menjadi persoalan adalah produksi di tahun 2021 masih belum bisa menutupi defisit dari total kebutuhan kayu bulat nasional yang berkisar 60 juta meter kubik. Dari angka produksi di tahun 2021, Hutan Tanaman Industri (HTI) menyumbang sebanyak 46,4 juta meter kubik. Diikuti pasokan yang berasal dari izin pemanfaatan hasil hutan kayu alam sebesar 6,03 juta meter kubik. Lalu yang

Optimalisasi bahan Baku dan Efisiensi Bisnis

Gambar
Direktur Perencanaan dan Pengembangan Perum Perhutani Endung Trihartaka menyebutkan sekitar setengah dari produk log jati memiliki grade A1. “Grade ini merupakan grade yang jarang dicari oleh industri mebel dan kerajinan” akuinya. Sementara Grade A3 yang terbanyak dicari industri hanya bisa dihasilkan sebanyak 27,12% dari total produksi kayu jati yang tahun 2022 mencapai 539.689 Meter Kubik. Kondisi ini menjadi persoalan besar bagi pelaku industri namun Director PT APP Timber Indonesia Ihda Fuad Adikusuma menyebutkan butuh inovasi rekayasa agar produk sebanyak itu tidak terbuang sia-sia. “Sebaiknya pelaku industri mengambil jati A1 dengan pertimbangan sisi harga dan memprosesnya menjadi papan kayu,” ungkapnya. Fuad kemudian mencontohkan pengalaman sebuah perusahaan kayu di Brasil yang memproses kayu log setara grade A1 untuk menjadi kayu papan dalam ukuran relatif kecil agar bisa diproses lebih lanjut oleh pelaku industri di hilir. “Bisa dijadikan material pembuatan komponen atau papan

Chairman ISWA: FSC bisa jadi Boomerang

Gambar
Chairman Indonesia Sawmill and Woodworking Association  ( ISWA ) HM Wiradadi Suprayogo menyebut target ekspor mebel dan kerajinan di tahun 2024 sebesar USD 5 Milyar sangatlah berat. Untuk mencapainya butuh upaya besar dan dukungan kuat dalam pemenuhan bahan bakunya. “Ini bisa jadi hanya mimpi,” katanya. Menurutnya kerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Perhutani dan Inhutani merupakan sebuah keharusan guna melakukan terobosan. Tanpa itu, industri mebel hanya akan bermain-main dengan suplair pihak ketiga yang merupakan pedagang ritel bahan baku. “Mungkin untuk memenuhi kebutuhan industri di Jepara masih memungkinkan,” ujarnya. “Tapi untuk mensuplai kebutuhan industri berskala besar seperti Integra sudah tidaklah memungkinkan,” lanjutnya.   Yang paling utama dalam pembahasan suplai bahan baku sebenarnya adalah jangan sampai ada peraturan yang memberatkan dan membelenggu industri sehingga sulit sekali berjalan karena aturan-aturan itu. “Posisi kita hingga hari ini adala

Menyoal Sisa Tebangan dalam Hutan

Gambar
Selama ini tigapuluh persen dari hasil tebangan di hutan ternyata ditinggalkan begitu saja. Menurut Ketua Umum Presidium HIMKI Abdul Sobur, hal ini merupakan sesuatu yang mubazir. Itu sebabnya ia mendesak untuk diadakan perubahan dalam regulasi yang mengaturnya. “Atas nama efisiensi, sisa tebangan itu bisa dikeluarkan dari dalam hutan untuk dimanfaatkan,” tuturnya. “Sayang karena nilai tambahnya menjadi rendah”. Sekretaris Jendral ISWA Aron Yongki menjawab bahwa sisa tebangan sebesar itu sebenarnya ditujukan untuk penyerapan air. “Jika semua sisa tebangan diangkut hingga bersih maka tidak ada lagi yang bisa menyerap air sehingga bisa menyebabkan banjir,” tuturnya. Lantas ia menceritakan pengalamannya dalam mengelola perkebunan sawit yang dimiliki perusahaannya. Sementara Assisten Direktur Pemasaran Inhutani Ghusviar Yasman bertutur bahwa yang dibawa keluar dari hutan adalah batang inti yang merupakan hasil panen. “Sisa dahan, ranting dan tegakan yang masihb tertanam di tanah sudah past

Inventarisasi Bahan Baku dan Menyiapkan Pusat Logisitk

Gambar
Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian Merrijantij P. Pintaria menyebutkan selain menginvetarisasi dan mengrading semua spesies bahan baku kayu dan rotan . “Hari ini kami berkumpul disini untuk membahas persoalan bahan baku, baik dari sisi kualitas dan kuantitas. Dari sisi produksi di hutan dan potensinya yang ada saat ini,” ujarnya.Hal ini diungkapkan dalam konferensi pers di Solo dalam acara FGD Ketahanan Bahan Baku yang diselengarakan oleh HImpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI). Ia juga menyebutkan kalangan industri mebel dan kerajinan akan bisa mengolah semua potensi yang ada. “Industri akan bisa menggunakan bahan baku apapun yang tersedia dari hulu”. “Tidak secara spesifik memilih spesies kayu yang mana karena mereka bisa menggunakannnya secara maksimal,” lanjutnya. M enurutnya informasi tentang potensi yang ada di hulu belum terinformasikan secara baik ke kalangan industri di hilir. Kementerian perindustrian akan membantu penentuan

Missing Link di Industri Rotan

Gambar
  Senada dengan Satori, pemilik PT Kharisma Rotan Supriyadi yang berlokasi di Solo melihat adanya missing link antara industri rotan di hulu dan hilir. Letak geografis keduanya menjadi persoalan. “Kebanyakan industri hulu berada di luar Jawa, sedang hilirnya berada di Jawa,” ungkapnya. Mereka yang di Jawa nyaris tidak pernah melihat tumbuhan rotan karena berada di pedalaman hutan luar Jawa. Mereka yang di hulu merasakan besarnya potensi rotan namun tidak mengetahui secara persis apa saja spesiesnya dan bagaimana karakternya. “Yang di hilir pahamnya hanya spesies yang itu-itu saja,” tuturnya. Tidak heran kedua sisi ini akan saling silang jika ada masalah yang timbul akibat ketidak pahaman situasi sebenarnya. Ini berdampak pada kisruhnya tata niaga rotan yang tak kunjung usai. “Hulu akan mengatakan over stock  sedang hilir menjerit kekurangan bahan baku,” tutupnya.  

Butuh Pendataan dan Penanaman kembali Rotan

Gambar
  Kisruh rotan tampaknya tidak pernah berakhir, padahal industri rotan di Indonesia sudah berusia lebih dari 140 tahun. “Perjalanan industri ini panjang sekali namun tidak ada konsep utuh dalam membangunnya,” tutur Satori pemilik CV Satori Rattan Indonesia saat FGD HIMKI di Solo pada 29 September lalu. Ketidak adaan ini membuat kegiatan memanen rotan di hutan masih dianggap sebagai mata pencaharian sampingan. “Itu kendalanya,” tegasnya. Berbeda dengan industri sawmill dan mebel yang membutuhkan modal besar guna memulainya, industri rotan nyaris berangkat dari modal seadanya dan banyak dibangun oleh bekas pekerjanya. Satori menceritakan industri rotan sebenarnya dimulai saat pemerintahan kolonial Belanda. Saat itu pemerintah Belanda menilai rotan sebagai komoditas unik dan mampu menggantikan penggunaan wilow untuk produk-produk anyaman. Di masa itu, rotan sudah dihargai sehingga tidak heran ada sejumlah buyer yang sudah berbisnis sejak 1881 dan 1887 bahkan keduanya masih eksis hingga ki

Hambatan Perdagangan itu bernama FSC

B erapa tahun lalu penulis diundang ke konvensi yang diselenggarakan oleh salah satu badan sertifikasi kayu internasional di Kuala Lumpur. Luar biasanya, konferensi saat itu dihadiri berbagai delegasi dari Asia Tenggara dan Asia Selatan. Saat konferensi berlangsung seorang delegasi asal India bercerita tentang pengalaman sejumlah petani yang berhadapan dengan delegasi sertifikator yang mengunjunginya di lokasi. Setelah diskusi panjang lebar, seorang petani tiba-tiba mengatakan dirinya bingung karena ditanahnya dengan tegakan pohon yang ditanam, dirawat dan akan dipanennya; datanglah sejumlah bule yang langsung mengatur-atur dan mewajibkannya untuk memperoleh sertifikasi dari antah berantah. Para petani India berkeberatan dikenakana sertifikasi berserta biaya yang diwajibkan untuk menjual pepohonan kayu yang ditanam dan dirawatnya. Cerita itu mengundang gelak tawa kami yang hadir. Berapa tahun kemudian, cerita yang sama berulang dengan akan diberlakukannya regulasi deforestasi oleh Uni