Butuh Pendataan dan Penanaman kembali Rotan

 Kisruh rotan tampaknya tidak pernah berakhir, padahal industri rotan di Indonesia sudah berusia lebih dari 140 tahun. “Perjalanan industri ini panjang sekali namun tidak ada konsep utuh dalam membangunnya,” tutur Satori pemilik CV Satori Rattan Indonesia saat FGD HIMKI di Solo pada 29 September lalu. Ketidak adaan ini membuat kegiatan memanen rotan di hutan masih dianggap sebagai mata pencaharian sampingan. “Itu kendalanya,” tegasnya.

Berbeda dengan industri sawmill dan mebel yang membutuhkan modal besar guna memulainya, industri rotan nyaris berangkat dari modal seadanya dan banyak dibangun oleh bekas pekerjanya.

Satori menceritakan industri rotan sebenarnya dimulai saat pemerintahan kolonial Belanda. Saat itu pemerintah Belanda menilai rotan sebagai komoditas unik dan mampu menggantikan penggunaan wilow untuk produk-produk anyaman. Di masa itu, rotan sudah dihargai sehingga tidak heran ada sejumlah buyer yang sudah berbisnis sejak 1881 dan 1887 bahkan keduanya masih eksis hingga kini. “Salah satunya bahkan memperoleh design award pada tahun 1901 dari pemerintah Italia,” tuturnya.

Industri rotan baru mendapatkan momentum kebangkitan setelah ditangani oleh Almarhum Bob Hassan. Tokoh kontroversial ini melihat rotan sebagai komoditas bernilai tambah besar sehingga pada tahun 1986 memutuskan untuk menyetop keran ekspornya. Ia pula lah yang mendirikan Sari Permindo yang di tahun 1989 menjadi benchmark dalam kualitas dan harga produk-produk rotan di Indonesia. “Tidak ada yang meragukan kualitasnya,” ujarnya. Kebangkitan ini ternyata juga mendorong relokasi industri rotan asia seperti yang ada di Taiwan untuk merelokasi usahanya ke Indonesia.

Celakanya konsep yang sudah diimplementasikan itu ternyata berumur pendek. Di era reforemasi tercatat dua kali pembukaan keran ekspor ketika Megawati menjabat presiden, dan sekali lagi ketika masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono. Yang terakhir benar-benar membuat industri rotan luluh lantak tak karuan. “Mereka berbagi kepentingan,” ungkap Satori.

Berbeda dengan bahan baku kayu, rotan sebagai bahan baku sama sekali tidak tersentuh. Bila pohon jati kini bisa dipanen umur 20 tahun, dari yang sebelumnya harus mencapai usia tanam 80 tahun. Maka rotan yang diketahui memiliki 360 spesies, namun hanya 72 spesies diantaranya yang diberi nama maka “Bagaimana bisa berkembang?” tanyanya.

Dari ratusan spesies rotan hanya ada tiga spesies favorit di Indonesia, yaitu manau yang hanya tumbuh di Sumatera, sega yang hanya tumbuh bagus di Kalimantan, dan tohiti yang hanya bisa diperoleh dari Sulawesi. Ia mendesak untuk diadakannnya pendataan dan penanaman spesies rotan diluar habitat aslinya oleh Perhutani dan Inhutani.

Pendataan ini akan perlu dipercepat agar di hilir tidak merasa punya stok berlebih sehingga menutut untuk diekspor padahal rotannya masih di dalam hutan. “Masih berupa potensi sementara di hilir kekurangan bahan baku,” jelasnya. Sehingga bisa diketahui pasti spesies mana, bagaimana spek dan karakternya “Kalau perlu kirim sampelnya dan akan kami buatkan produknya,” lanjutnya.

 https://youtu.be/jjShbL-o9V4 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur: “Pasar akan mulai membaik”

EUDR: “Very badly written law”.

Terobosan HIMKI ke China untuk Meningkatkan Daya Saing Global