Hambatan Perdagangan itu bernama FSC

Berapa tahun lalu penulis diundang ke konvensi yang diselenggarakan oleh salah satu badan sertifikasi kayu internasional di Kuala Lumpur. Luar biasanya, konferensi saat itu dihadiri berbagai delegasi dari Asia Tenggara dan Asia Selatan.

Saat konferensi berlangsung seorang delegasi asal India bercerita tentang pengalaman sejumlah petani yang berhadapan dengan delegasi sertifikator yang mengunjunginya di lokasi. Setelah diskusi panjang lebar, seorang petani tiba-tiba mengatakan dirinya bingung karena ditanahnya dengan tegakan pohon yang ditanam, dirawat dan akan dipanennya; datanglah sejumlah bule yang langsung mengatur-atur dan mewajibkannya untuk memperoleh sertifikasi dari antah berantah. Para petani India berkeberatan dikenakana sertifikasi berserta biaya yang diwajibkan untuk menjual pepohonan kayu yang ditanam dan dirawatnya. Cerita itu mengundang gelak tawa kami yang hadir.

Berapa tahun kemudian, cerita yang sama berulang dengan akan diberlakukannya regulasi deforestasi oleh Uni Eropa dalam waktu dekat. Seperti diketahui Parlemen UE telah mensahkan regulasi yang mengharuskan verifikasi atau uji tuntas atas sejumlah komoditas yang diproduksi di atas lahan deforestasi. Komoditasnya terdiri dari kelapa sawit dan turunannya, kayu dan turunannya, kakao dan kopi. Parlemen UE bahkan juga bersikeras untuk mengenakan regulasi ini pada komoditas peternakan dan produk-produk turunannya.

Ujung-ujungnya dari regulasi deforestasi adalah mutlaknya kepemilikan sertifikasi FSC alias Forest Stewardship Council bagi beragam komoditas dan produk turunannya yang terimbas.

Mengutip Ketua Presidium Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia Abdul Sobur yang mengatakan pihaknya sama sekali tak menduga kewajiban kepemilikan sertifikasi ini sebagai syarat mutlak guna memasarkan produk-produk mebel dan kerajinan berbasiskan kayu.

Keterkejutan ini bisa dipahami karena selama ini industri mebel dan kerajinan kayu nasional digiring dan difasilitasi pemerintah untuk memiliki SVLK alias Sertifikat Verifikasi Legal Kayu. Mandatori! Mengikat semua industri perkayuan nasional, mulai dari hilir hingga hulu. Tak terkecuali.

Yang mengherankan kini SVLK tidak lagi diakui oleh UE. Artinya, setiap industri mebel dan kerajinan berbasiskan kayu harus memiliki sertifikasi FSC jika hendak menjual produknya ke pasar UE.

Sobur melihat SVLK ini sebagai sesuatu yang tidak atau belum tuntas diperjuangkan. “Karya anak bangsa sudah sepatutnya harus diperjuangkan oleh pemerintah hingga tuntas,” ujarnya. Jika pemerintah tidak tuntas menyelesaikannya maka hutan dan lahan di Indonesia akan dikuasai oleh asing melalui berbagai regulasi yang sengaja diciptakan untuk melemahkan posisi dan merugikan kepentingan Indonesia. Inilah yang dikuatirkannya, ada orang asing yang tiba-tiba datang dengan regulasi dan mengatur hutan berserta komoditas yang dihasilkan.

Tidak seperti SVLK yang difasilitasi oleh pemerintah melalui kementerian terkait, maka kepemilikan FSC yang berbayar jelas tidak akan difasilitasi oleh pemerintah. Salah satu nara sumber pernah menyebutkan biaya awal yang harus dikeluarkan untuk pengurusannya mencapai IDR 80 Juta. Jumlah sebesar itu sudah pasti menjadi beban tambahan baru yang dampaknya mengurangi daya saing Indonesia. Sudah pasti tidak akan bisa ditanggung oleh perusahaan UMKM sendirian. Akibatnya, mereka pun sudah dipastikan akan tersingkir dari peta bisnis dan industri nasional dalam waktu dekat.

Fenomena sertifikasi FSC sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia perdagangan internasional. Diduga sertifikasi ini tidak berdiri sendiri namun merupakan akibat dari perseturuan dagang yang sudah berlangsung. Kelapa sawit dan turunannya yang dihasilkan negara-negara tropis seperti Indonesia merupakan salah satu komoditas yang sudah lama menjadi target. Kali ini regulsi itu melebar dan dikenakan pada lebih banyak komoditas termasuk furnitur berbahan kayu dan daging hasil peternakan. Ini adalah bagian perang dagang sekaligus upaya menahan defisit akibat masuknya komoditas dari negera-negara tropis yang lebih murah dan bisa diterima pasar setempat.

Sertifikasi menjadi penghambat perdagangan yang efektif lagi pula hambatan non tarif ini lebih mudah dimanipulasi untuk banyak alasan. Selalu ada alasan mulai dari penghormatan untuk masyarakat adat di sekitar hutan hingga kelestarian hutan. Lihat saja pajak karbon yang dikenakan pada setiap pesawat terbang yang memasuki wilayah udara UE. Namun regulasi ini ditunda mendadak ketika Tiongkok mengumumkan rencana pembatalan pemesanan pesawat komersial airbus dalam jumlah besar. Serupa dengan pajak karbon, regulasi deforestasi juga mudah goyah. Sekretaris Jendral ISWA Aron Yongki bercerita FSC bukan sesuatu yang final. Ia menunjuk Perancis, Swedia dan Jepang yang tidak lagi membutuhkan sertfikasi FSC untuk impor wood pallete. Namun Direktur Industri hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian Merrijantij Pintaria menyebut mandatori sertifikasi itu lebih berdasarkan pada kebutuhan sesaat.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur: “Pasar akan mulai membaik”

EUDR: “Very badly written law”.

Terobosan HIMKI ke China untuk Meningkatkan Daya Saing Global