Terancamnya Ketahanan Bahan Baku

“Posisi kita hingga hari ini masih bergulat dengan bahan baku”. (Aron Yongky, Sekretaris Jenderal Indonesia Sawmill and Woodworking Indonesia)



Pernyataan di atas bukanlah sesuatu yang hyperbola. Realitasnya hingga saat ini, industri mebel dan kerajinan Indonesia yang berbasiskan kayu solid dan rotan memang mengalami kendala serius dalam memenuhi kebutuhan bahan bakunya.

Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memperlihatkan produksi kayu bulat nasional pada tahun 2019 yang sebesar 48,77 juta meter kubik. 55,92 juta meter kubik pada tahun 2020, dan sebesar 55,29 juta meter kubik pada tahun 2021. Yang menjadi persoalan adalah produksi di tahun 2021 masih belum bisa menutupi defisit dari total kebutuhan kayu bulat nasional yang berkisar 60 juta meter kubik.

Dari angka produksi di tahun 2021, Hutan Tanaman Industri (HTI) menyumbang sebanyak 46,4 juta meter kubik. Diikuti pasokan yang berasal dari izin pemanfaatan hasil hutan kayu alam sebesar 6,03 juta meter kubik. Lalu yang berasal dari izin pinjam pakai atau HGU yang mencapai 1,24 juta meter kubik. Sedangkan yang berasal dari areal Perum Perhutani hanya memasok 1,79% atau sebesar 988.708 meter kubik. Lantas produksi penyiapan lahan HTI memasok sebesar 597.046 meter kubik alias 1,08%.

Perhutani hanya memasok sebesar 1,6 hingga 1,79% dari kebutuhan kayu bulat nasional, namun pangsa ini membesar setara sepuluh persen jika memasok kebutuhan kayu bulat yang dibutuhkan industri mebel dan kerajinan nasional. Wakil ketua Umum bidang innovasi bahan baku dan bahan penunjang Adi Darma Santoso memprediksikan kebutuhan bahan baku kayu akan mencapai 11,99 juta meter kubik di tahun 2024. Ya, tahun 2024 adalah tahun yang dipatok Presiden Joko Widodo agar raupan devisa industri mebel dan kerajinan Indonesia mencapai USD5 milyar.

Menurut Direktur Perencanaan dan Pengembangan Perhutani Endung Trihartaka, salah satu keunggulan pihaknya adalah produk di kayu jati. Kayu jati asal Indonesia yang sudah mendunia itu ternyata juga bermasalah karena kian banyak produksi yang bergrade A1. “Sekitar 50% dari total produksi kayu jati kami,”ungkap Endung.

Berdasarkan RKAT tahun 2022 kayu jati dengan grade A1 diprediksi akan mencapai 539.689 meter kubik. “Ini grade yang paling jarang dicari oleh industri,” ungkap Endung. Sementara grade A2 dipatok sebesar 122.910 meter kubik, dan grade A3 akan sebanyak 146.365 meter kubik. Untuk grade A4 yang rerata berdiameter besar, Endung menyebutkan pihaknya sudah tidak memilikinya lagi.

Angga dari Perhutani menyebutkan adanya regulasi yang melarang penebangan pohon-pohon kayu jati seperti yang berada dipingiran jalan raya Kendal hingga 50 meter ke dalam dari median jalan raya. “Disana masih banyak pohon jati berdiameter besar yang ditanam mulai tahun 1886,” jelasnya.

Endung menuturkan hingga akhir tahun ini, sisa stok kayu jati dengan grade A1 tersedia 87000 meter kubik. Grade A2 sebesar 22000 meter kubik. A3 hanya tersisa 4000 meter kubik, dan menurutnya in grade yang terbanyak dicari industri. Sementara berdasarkan spesies maka sediaan kayu jati terbesar mencapai 138.968 meter kubik, pinus 22000 meter kubik, mahoni 16000 meter kubik, sonokeling 2000 meter kubik, sengon 6000 meter kubik dan kayu rimba campuran sebesar 11000 meter kubik.  

Untuk kepemilikan sertifikasi yang dikeluarkan Forrest Stewardship Council (FSC) yang sedang diributkan, 57 Kesatuan Pemangku Hutan Perhutani telah memiliki sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan 10 KPH yang memiliki sertifikasi Forrest Management dari FSC. KPH bersertifikasi ini diantaranya di Cepu, Randublatung, Kebonharjo, Kendal, Madiun, Banyuwangi Utara, Banten dan Ciamis. “Satu KPH lagi merupakan KPH pinus,”jelas Angga.

Jika Perhutani bisa memasok 10% dari total kebutuhan industri mebel di tahun 2024 maka Inhutani hanya bisa memasok sekitar 5%. Hal ini diungkapkan oleh Assisten Direktur Pemasaran Inhutani Ghusviar Yasman bahwa Inhutani yang tersebar di luar Jawa mencakup 13 kawasan HTI dan 8 Hutan alam hanya mampu memproduksi kayu bulat sebesar 400.000 meter kubik guna memenuhi kebutuhan industri mebel dan kerajinan.

Berbeda dengan Perhutani yang memiliki spesies unggulan kayu jati, Inhutani lebih mengandalkan kayu-kayu alam seperti meranti, bengkirai, kruing, kapur dan kempas. Kebanyakan dari spesies kayu produksinya dipasok memenuhi kebutuhan industri kayu lapis. “Jenis kayu rimba campuran tidak dipanen karena tidak ada pasarnya,” jelas Ghusviar.

Dengan kemampuan memasok 15% dari kebutuhan bahan baku kayu di tahun 2024, maka pemerintah diharuskan mencari solusi untuk bisa memenuhi sisa pasokan sebesar 85%. Ghusviar misalnya mendesak pelaku industri mebel untuk melakukan penanaman guna pemenuhan bahan bakunya secara mandiri. “Bukan sekedar menyumbang bibit tapi juga melakukan perawatan dan pemanen jika saatnya,”ajaknya.

Endung menyebutkan Perhutani sudah lama melakukan rekayasa genetika melalui pucuk pohon jati guna memperoleh batang lebih besar dan mempercepat masa panennya. Namun hal ini pernah diprotes keras oleh sejumlah pemilik industri mebel yang menilai jenis jati emas atau solomon yang pernah diperkenalkan tidak memiliki densitas serupa dengan kayu jati Perhutani terutama yang berasal dari KPH Cepu dan Randublatung. Akibatnya timbul penolakan untuk menggunakannya.

Selama ini, pasokan kayu terbesar untuk kebutuhan industri mebel terbanyak diperoleh dari perkebunan dan perorangan. Ada istilah kayu jati kebon dan kayu jati rakyat untuk membedakan asalnya. Kedua jenis kayu ini tidak memiliki izin serumit dalam memanennya namun ada persoalan grading yang cukup mencuat.

Dalam wawancara di majalah WoodMag berapa tahun lalu, Ketua AMKRI Jepara Raya saat itu Andang Wahyu Triyanto menyebutkan perbedaan grading ini di Jepara saja telah menimbulkan kerugian sebesar IDR2,8 milyar perbulannya.

Keengganan untuk menggunakannya juga disebabkan kualitasnya yang dinilai sangat jauh dibandingkan dengan kayu jati produksi Perhutani. Kalau diperhatikan seksama warna kayunya cenderung kuning pucat, dan untuk produk tertentu dibutuhkan treatment penyepuhan dengan menggunakan bahan kimia guna merubah warnanya menjadi pekat.

Untuk memenuhi kebutuhannya, pelaku industri mebel telah lama beralih dengan menggunakan spesies seperti trembesi atau meh, mangga, durian, nangka, kemiri, dan akasia. Peralihan ini cukup berhasil dan bisa diterima oleh pasar internasional yang menjadi targetnya. Selain itu digunakan material non kayu mulai dari metal, alumunium, plastik, marmer, hingga kaca; sekalipun banyak pihak yang menyayangkan hilangnya materi kayu tropis yang menjadi karakter dan keunggulan mebel produksi Indonesia.

Sebagian pelaku industri mebel juga sudah menggunakan kayu impor seperti pines, oak, walnut, cherry, dan yellow poplar dalam sejumlah orderan yang diterimanya. Tercatat saat ini penggunaan kayu impor sudah mencapai 20%. Jumlah yang cukup signifikan karena sebelum pandemi hanya berkisar 11 hingga 13% di saat puncaknya. Dalam Pameran IFMAC yang baru berlangsung di Jakarta, French Timber menghadirkan sejumlah perusahaan kehutanan asal Perancis untuk memasarkan produknya ke Indonesia.

Bahan baku rotan ternyata memiliki kesulitan yang tak kalah peliknya. Ghusviar menyebutkan pihaknya terkendala karena panen rotan biasanya dilakukan oleh kelompok kecil masyarakat setempat yang memang terlatih dalam memanennya. “Tidak mudah karena harus masuk ke pedalaman hutan selama berhari-hari,”ujarnya. Selain itu sejak jatuhnya harga jual rotan, kian sedikit pemanen yang tertarik melakukan pemetikannya.

Masalah lain dalam penyediaan rotan adalah pasar di Jawa umumnya meminati rotan berdiameter kecil seperti manau, sigra dan tohiti. Sementara para pemanen tidak akan membeda-bedakan sub spesies rotan yang akan dipanennya. Apalagi rotan yang diminati pengrajin di Jawa hanya berharga IDR500 perkilogramnya di tangan pengepul. “Daripada merugi ongkos, petani sekaligus memanen rotan yang dijumpainya tidak peduli dengan diameternya,”tutur Ghusviar. Ia menambahkan dengan hitungan di pengepul berdasarkan kilogram, maka rotan berdiameter besar inilah yang jadi komoditas utama pemanen. Rotan berdiameter kecil dianggap pemanen sebagai bonusnya.  

Rotan berdiameter besar yang justru tidak diminati pasar di Jawa inilah yang kemudian diekspor. Banyak dari sub spesies ini yang tidak dikenal oleh pengrajin di Jawa. Pemilik Jaya Rattan Willy Wonoto pernah bereksperimen dengan rotan diameter besar untuk pembuatan kursi tamu. “Kulit rotannya diiris tipis lalu dianyam dengan open wave,” ungkapnya berapa tahun lalu.

Pemilik CV Satori Rattan menyebutkan dari lebih 360 jenis rotan hanya 72 yang sudah dinamai. Sisanya ia meragukan sudah terdata secara baik terutama karakter dan kegunaannyanya. “Kalau sudah begini, bagaiman bisa berkembang industri ini,” tanyanya. Sementara pemilik Kharisma Rotan Supriyadi mengakui missing link dalam komunikasi antara industri hulu dan hilir rotan berdampak pada kerumitan tata niaga rotan. “Sementara di hilir menjerit kekurangan bahan, di hulu justru dipusingkan over stock dan menuntut pembukaan keran impor,” ujarnya.

Lantas berapa kebutuhan rotan sebenarnya? Menurut perhitungan Adi Darma, Cirebon Raya membutuhkan pasokan sebesar 12.000 ton rotan perbulannya. Menurut Ghusviar angka ini akan mencapai 67.000 ton di tahun 2024. Menurutnya pemenuhannya bisa dikoordinasikan oleh Inhutani Sulawesi yang diprediksi mencapai 136.000 ton. Namun masih banyak yang meragukan angka itu masih berupa potensi, sehingga membutuhkan waktu untuk dipanen dan dihadirkan ke pasar.

Tak pelak jika Supriyadi mendesak pembentukan task force guna mewujudkan rencana aksi yang diambil untuk memecahkan persoalan terancamnya ketahanan bahan baku yang kian akut. “Jangan sampai kita seperti ayam mati di lumbung padi,” katanya.[NWID/eM]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur: “Pasar akan mulai membaik”

EUDR: “Very badly written law”.

Terobosan HIMKI ke China untuk Meningkatkan Daya Saing Global