Chateda Toys: Membangun Critical Thinking lewat Educational Toys

 Ir. A. Chandra Meutia, pendiri sekaligus Direktur PT Chateda Toys, sempat terkagum-kagum pada seorang berusia lima tahun yang merekayasa bentuk masjid dari permainan balok produksinya. “Anak seusia itu berimajinasi membangunnya ditepian pantai sehingga lengkap dengan bangunan penahan ombak,”katanya sambal tertawa. “Ini belum pernah kami bayangkan sebelumnya,” lanjutnya. Yang juga membuatnya kagum adalah anak seusia itu bisa mewujudkan imajinasinya hanya dengan mainan balok yang ada, “Tanpa perlu mengambil mainan balok milik adiknya,” jelasnya.



Sejak dari awal percakapan dengan Redaksi WoodNews Indonesia, Ia selalu menekankan bagaimana pentingnya membangun critical thinking dari usia dini. Terutama “Itu harus dibangun sejak dini dengan pembelajaran dan pendampingan orang tua atau guru dengan benar dan baik,” katanya. “Dengan benar, baru baik,” tekannya berulang.

Kesemua itu berawal dari tekadnya untuk mendidik anak tunggalnya, sehingga ia memilih berhenti dari kerja arsitektur interior yang digeluti sebelumnya. Namun alumnus Arsitektur Interior Universitas Trisakti ini memilih untuk tetap menekuni pembuatan mebel custom, sekaligus memulai riset dan pengembangan secara mandiri sebelum memproduksi educational toys. “Kami tidak berawal dari produksi lebih dulu,” jelasnya.

Chandra menjelaskan bahwa masih terdapat hubungan antara pendidikan formalnya dengan yang digelutinya kemudian. “Interior dan arsitektur sangat berpengaruh pada pendidikan anak mulai dari desasin dan warna pagar, hingga ke dalam ruangannya,” jelasnya. “Semua harus didesain secara detil sehingga benar-benar aman dan nyaman bagi anak-anak usia dini,” lanjutnya. Ia pun mulai intens berkecimpung dalam pendidikan anak usia dini, bahkan di tahun 2002 ia ditarik bergabung dalam Himpaud. Disini dipertemukan akademisi, praktisi dan pemerhati Pendidikan usia dini.

Proses pembelajaran di Indonesia yang semula hanya mengenal metoda kelompok, sudut dan area; kemudian diperkaya dengan pendekatan sentra yang diperkenalkan Pamela Phelps di Talahase, Florida, Amerika, serta di Sekolah Al Falah di Indonesia untuk pertama kalinya di tahun 2004. Metode sentra atau beyond center and circle time mengenalkan tiga jenis permainan sebagai metode belajar anak usia dini, yaitu permainan sensorik motor, konstruksi, dan role play.



Menurut metoda ini, pengenalan permainan anak yang menstimulasi sensorik motor halus dan kasar. “Ini dimulai dari yang bersifat cair; lalu meningkat pada permainan terstruktur yang menggambungkan dua materi berbeda, seperti pasir atau tepung dan air; kemudian meningkat pada play role seperti bermain keluarga,” jelasnya panjang lebar. Itu semua harus dipelajari agar paham apa yang dibutuhkan untu, bisa memproduksi mainan apa yang dibutuhkan.

Lantas ia menunjuk pada doll house atau rumah boneka yang terpajang di kantornya, “Ini lebih tinggi dari role play karena disini anak berperan sebagai sutradara. Dari kongkret operasional sampai ke tahapan abstrak,” tuturnya. “Abstrak itu membuat anak berpikir nanti akan memainkan peran apa, dan itu menutut kontinyunitas,” lanjutnya.

Tahap lanjutnya adalah bermain konstruksi dengan permainan balok. “Ada proses pembelajaran anak akan media, cara, bentuk, ukuran, fungsi teknik, teknologi, keamana dan kenyamanan,” tururnya. Educational toys dikhusukan pada anak usia 3-9 tahun. Di bawah usia itu, menurutnya, sudah banyak mainan yang diproduksi oleh perusahaan besar baik dari dalam maupun luar negeri. Ini lah yang membuatnya membidik segmentasi ini.

Sejak awal ini memilih untuk menggunakan kayu sebagai materi mainan yang diproduksinya. Ia pun memilih menggunakan kayu pinus lokal dari spesies Yamaha. Kayu jenis ini dipandang beratnya ideal bagi mainan anak yang akan diproduksi, serta memiliki sejumlah kelebihan. Selain kayu solid, digunakan juga MDF dan multipleks sebagai bahan bakunya. Menurutnya, Indonesia tidak hanya kaya dengan materi ini tapi juga sesuai dengan latar belakang Pendidikan formalnya. “Di tahun 2000 awal, Chateda sudah memiliki dua departemen yang memproduksi mebel dan mainan edukasi,” jelasnya.

Pemilihan kayu ini pun mendapatkan perhatian khusus dari Pamela Phelps, dan untuk memperoleh pengakuan serta sertifikasi kelayakan dibutuhkan waktu 10, ya sepuluh tahun! Ia menceritakan prosesnya sudah dimulai dari tahun 2004, namun sertifikasinya baru terbit pada tahun 2014. Sebuah waktu yang sangat panjang, Itu sebabnya ia menyebutkan jika Chateda Toys tidak berawal dari produksi.



Itu sebabnya educational toys yang diproduksinya tidaklah berharga murah. “Ada proses pembelajaran dan riset. Ada investasi tangible dan intangible,” tuturnya. “Proses pembelajaran tetap berlangsung karena memang bukan hasil yang dituju, dan ini tetap berdampak pada pembiayaan R&D,” lanjutnya. Dengan gamblang diceritakan jika pihaknya akan menguji coba permainan baru selama satu semester, dan baru memproduksinya setelah setahun dari masa soft launchingnya.

Kini, Chateda Toys sudah memproduksi ratusan item educational toys mulai dari yang sederhana bentuknya hingga yang lebih rumit seperti permainan balok yang diproduksi di workshop Jepara serta permainan puzzle yang diproduksi di Cipinang Muara, Jakarta Timur.

Terinspirasi oleh permainan Tangram asal Tiongkok yang menggunkan kertas sebagai materinya, Chateda pun memodifikasi dengan menggunakan materi kayu, multipleks dan MDF dalam memproduksinya. Menurutnya, permainan ini tidak hanya mengajarkan proses literasi tapi juga konstruktif yang luar biasa. “Titiik bertemu titik menjadi garis, garis bertemu garis menjadi ruang atau volume, dan seterusnya,” katanya.

Permainan ini mengajarkan bentuk dengan nama berbeda jika diinterkoneksikan akan menghasilkan bentuk dengan nama beda pula. Ia mencontohkan “Dua segita tiga jika dipertemukan akan membentuk jajaran genjang,” jelasnya. Ia pun bertutur dibanding dengan permainan Lego yang memilki sistim klik dalam mengunci, tangram memiliki kelebihan dengan menstimulasi anak untuk lebih halus dan bersabar dalam merekayasa bentuk yang dikehendakinya.



Diakuinya, hingga kini pemasaran masih terbatas pasar domestik, seperti sejumlah instansi Pendidikan seperti sekolah Al Falah dan Penabur; serta day care di sejumlah kementerian termasuk Kementerian Pertahanan dan Markas Besar TNI. Ia mengakui masih menginginkan perluasan domestik dan jika bisa mulai memasuki pasar ekspor sekalipun diakuinya sangat tidak mudah. “Negara-negara tujuan ekspor memberlakukan persyaratan yang berbeda-beda satu dengan lainnya,” tuturnya. “Bahkan ada negara tujuan ekspor yang tidak menghendaki adanya kerja lembur sebagai salah satu persyaratannya,” lanjutnya.

Semua itu tidak menyurutkan keinginan untuk berekspansi, secara perlahan Chateda Toys pun mulai melengkapi dengan sejumlah sertifikasi. “Terakhir kami baru mendapatkan setifikasi TKDN dari Kementerian Perindustrian,” tuturnya.


Setelah 24 tahun berdiri, Chandra dan tim manajemennya berkeinginan untuk membesarkan melalui kerja sama pembiayaan dan pemasaran. “Butuh investasi besar untuk bisa menghadirkan mesin-mesin produksi canggih seperti laser cutting,” tuturnya. Sadar akan sulitnya untuk menwujudkan maka ia menyebutkan pihaknya memilih untuk fokus pada produksi dan kontrol kualitas. (WNID/eM)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur: “Pasar akan mulai membaik”

EUDR: “Very badly written law”.

Terobosan HIMKI ke China untuk Meningkatkan Daya Saing Global