Seminar Memahami EUDR dan Kayu Keras Amerika

Setelah sekian tahun vakuum dalam berkegiatan di Indonesia, American Hardwood Export Council (AHEC) mengadakan seminar untuk pertama kalinya. Bekerja sama dengan Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) menyelenggarakan Seminar Understanding EUDR and American Hardwood di Grand Ballroom, Hotel Vivere,Gading Serpong, Tangerang, pada 29 April lalu.


Dalam sambutan pembukaan, Ketua Umum Asmindo Dedy Rochimat menyebutkan pihaknya mentargetkan penguasaan pasar 1% dari total nilai pasar global yang mencapai USD766 Milyar pada tahun 2024 ini. Nilai pasar ini meningkat dari tahun lalu yang hanya mencapai USD729 Milyar. Tantangan berupa ketidak pastina perekonomian global, geopolitik dan konflik bersenjata yang terus merebak dan perubahan iklim berdampak pada turunnya nilai ekspor produk furnitur Indonesia . di tahun 2023 nilai ekspor furnitur Indonesia anjok sebesar 23%, nilainya hanya mencapai USD2,1 Milyar dibandingkan tahun 2022 yang mampu mencapai USD2,5Milyar.

Dedy juga mengungkapkan furnitur kayu berkontribusi 68% dari total produksi furnitur Indonesia di tahun 2023, dan ekspor ke Amerika Serikat mencapai 56%. Ini merupakan ekspor terbesar untuk satu negara saja.

Seperti yang pernah dimuat di WoodNewsID, 03 Maret 2024, nilai ekspor kayu keras Amerika tahun 2023 mengalami kenaikan signifikan sebesar 15%. Hal ini lah yang mendorong AHEC untuk kembali bergiat di Indonesia setelah vakuum selama lebih dari 3 tahun belakangan. Hal ini diakui Regional Director AHEC untuk Kawasan Asia Tenggara dan China Raya John Chan.

John menyebutkan sejak tahun 1992, AHEC telah menyelenggarakan 62 event. Tujuan penyelenggaraan seminar kali ini masih berfokus pada promosi ketersediaan kayu keras Amerika yang berkelanjutan. Hal ini dirasakan penting karena melimpahnya pasokan kayu alam di Amerika, yang mampu memberi manfaat bagi pelindungan lingkungan dan mencegah perubahan iklim ekstrim.

Chief Inspector National Hardwood Lumber Association Dana Spessert memaparkan informasi tentang beragam jenis kayu Amerika. Kayu-kayu ini memiliki warna dan serat kayu yang beragam dan unik. Ini berbeda dengan kayu tropis lokal Indonesia. Red oak, walnut dan hard maple merupaka spesies yang banyak dipesan. Setelah Vietnam, Indonesia merupakan pasar terbesar bagi kayu keras Amerika di Kawasan Asia Tenggara. AHEC melalui Dana masih konsisten untuk memperkenalkan kayu Amerika sebagai bahan baku alternatif bagi industry furnitur terutama yang mengekspor produknya ke Amerika dan Eropa.


Standar grade yang berlaku dimulai dari FAS, FAS One Face (1F), No. 1 Common, No. 2A dan B Common dan No. 3A dan B Common. Setiap grade ditentukan berdasarkan sisi atau muka papan yang terbaik. Cara perhitungan sudah baku dan telah digunakan sejak seratus tahun lebih. Grading ini sangat menentukan harga jualnya. Menurut Dana, bahkan kayu-kayu dengan grade terendah pun masih diminati pasar tertentu. “Biasanya digunakan sebagai bahan baku pembuatan furnitur rustic”. Sekalipun penentuan grade menggunakan sistem imperial, yang terasa asing di Indonesia, karena menggunakan satuan feet dan inchi, bukan meter dan sentimeter namun itu tidak menjadi halangan besar. Terbukti sesi penentuan grade, peserta seminar tidak kesulitan dalam menyimpulkan dan menentukan grade sebuah papan.

Presentasi terakhir yang dibawakan oleh Enviromental Policy Director AHEC Rupert oliver lah yang paling menarik perhatian peserta seminar. Sebagian dari materinya sudah dipaparkan Rupert saat konvensi AHEC di Chengdu pada September 2023. Dan sudah dimuat di WoodNewsID pada edisi 24 Okober 2023.


Rupert menegaskan kembali akan ketidak setujuan Amerika dan AHEC terhadap pemberlakuan Regulasi anti-Deforestasi Uni Eropa atau EUDR. Namun regulasi yang sudah diundangkan itu berlaku efektif pada akhir tahun ini, dan bagi pelaku IMKM akan berlaku pada pertengahan tahun 2025. Dana menilai jika EUDR memiliki jangkauan yang meluas, tidak lagi focus pada pencegahan pembalakan liar seperti pada EUTR. Ini berdampak merugikan sebagian eksportir global, karena tidak hanya menyangkut produk furnitur kayu tapi juga hasil pertanian dan peternakan. Ini membuat tidak hanya Indonesia dan Malaysia meradang tapi juga banyak negara-negara penghasil komoditas pertanian dan peternakan yang selama ini mengekspor produknya ke pasar Uni Eropa.


UE dilihat tidak hanya memaksakan regulasi yang super ketat dalam jangka pendek. Due deligence yang disyaratkan pun masih belum jelas benar. Demikian juga dengan apakah persyarata due deligence itu harus dipenuhi dalam setiap kali pengiriman. Fakta-fakta inilah yang menjadi hambatan perdagangan dan bisa memicu perang dagang baru.

Dalam konferensi pers di akhir seminar, Dedy Rochimat memaparkan jika upaya pembukaan pasar baru bagi produk furnitur Indonesia sudah mendapatkan pasar di Senegal, Afrika. Negara yang sedang mengalmai booming karena ekspor minyak buminya. (WNID/eM)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur: “Pasar akan mulai membaik”

EUDR: “Very badly written law”.

Terobosan HIMKI ke China untuk Meningkatkan Daya Saing Global