Eugenio Hendro: “Identitas dan Cultural Shift”

Product Designer Eugenio Hendro menekan sekali pendekatan keIndonesiaan dalam sebuah desain dan produk. ““Di studio kami fokusnya dalah menonjolkan keIndonesiaan dalam setiap produk yang dibuat untuk banyak brand. Itu mulai dari yang ready to sale atau market oriented hingga produk yang collectable seperti ini,” katanya. Ikuti kutipan paparannya di bawah ini.



“Kalau lihat Pameran IFEX 2024 saat ini maka terkesan nyaris semua produknya sangat Indonesia banget. Ada yang suka, ada yang tidak suka. Ada yang bosan bahkan dinilai sudah kuno karena menggunakan kayu sebagai material utamanya. Beda dengan pameran di luar yang sangat beragam, tidak didominasi warna coklat kayu. Namun itu lah brand. Disini kita bisa mengukur apakah kehadiran kita tepat atau tidak. Apakah produk kita sama dengan buyer profiles di sebuah pameran.

“Dibanding dengan pameran di luar maka pameran di sini berkesan kok begini-begini saja, tapi di kacamata orang luar negeri maka itu something sexy. Dan itu sesuatu yang dicari. Identitas itulah yang membedakan. Mereka yang pernah ikut serta pameran di luar, pasti ingat bagaimana pentingnya identitas dalam produk atau dalam desain produk. Tanpa ada indentitas yang jelas maka kita tidak bisa menyuguhkan sesuatu yang berbeda dalam pasaran mereka. Kalau buyer pameran IFEX itu 90%nya berasal dari luar negeri, dan itulah barang-barang yang mereka cari.

“Di studio kami yang dibuat tidak hanya bentuk dan visualnya seperti apa. Kami sebenarnya mencari apa yang menjadi kebutuhan market saat ini. Kata kuncinya adalah cultures, emotion dan life style. Ini yang sangat jarang diutak atik oleh orang lain. Yang biasa dipersoalkan adalah bentuk, material, murah atasu mahalnya, cepat laku atau tidak. Pertanyaannya langsung tertuju disitu namun lupa jika produk itu berbicara emosi pembeli. Dibalik saja prosesnya, kalau hendak membeli sebuah kursi kan bukan hanya soal harganya tapi bagus tidaknya yang menarik calon pembelinya. Itulah emosi yang berperan. Sebelum memproduksi produk kami bermain disini dulu, baru setelah itu turunannya seperti apakah mudah diproduksi dan apakah murah harganya.

“Di studio kami fokusnya dalah menonjolkan keIndonesiaan dalam setiap produk yang dibuat untuk banyak brand. Itu mulai dari yang ready to sale atau market oriented hingga produk yang collectable seperti ini. Itu tergantung dari feedback dari market dan klien kami. 

“We design for the future by learning from the past. Yang didesain adalah future bukan seperti saat ini, apa trennya dan itu yang diikutin. Sekarang warnanya merah, oke kita bikin produk berwarna merah untuk tahun depan. Sudah telat!

“Ke depan yang kita cari adalah kesamaannya dan perbedaannya dan barulah diformulasikan berdasarkan data yang diramu menjadi jawabannya, data desain. Ke depan yang dicari seperti ini dan itu. Itu keuntungan bekerja sama dengan desainer yang memang fokus untuk mendesain maka data-data itu akan keluar. Banyak juga produsen yang tidak mengerti sehingga ke kami hanya dibicarakan apa yang akan laku saja. Bahkan mereka minta desain yang sudah ada dicopy. Sebenarnya jangan begitu. Yang harus dilihat adalah benang merahnya dan melihat ke depan.

“Ini sebagian yang sudah kami desain. KeIndonesiaan itu tidak selalu bentuknya etnik, kita bisa membungkusnya dengan kekinian atau kontemporer. Sehingga bisa membuat sesuatu yang lebih jauh dari tradisional atau bahkan kontemporer.

“Sekarang kita berbicara cultural element dalam furnitur. Banyak sebenarnya yang ingin menonjolkan keIndonesiaan dalam bentuk namun bagimana caranya membuat agar tidak terlihat atau terkesan kuno. Ada berapa produk yang saya lihat masuk atau terperangkap dalam segmen itu. Apakah ada pasarnya? Ada, tapi kita juga harus membuka mata bahwa pasar yang sekarang berkaitan dengan cara hidup. Berkaitan dengan space yang diadopsi dalam tempat tinggal. Kalau dulu rumah itu spcenya besar maka sekarang apartemen itu ruangnya kecil. Kalau ruang mengecil maka berarti mebelnya pun mengecil. Kalau dimensinya mengecil maka produk yang membanjiri pasar haruslah mengikuti ukuran tersebut. Itu hanya sebagian kecil dari bagaimana market mempengaruhi produk yang harus dibuat.

“Kalau selama ini produk saya itu bagus, bisa bikin panel dan patung yang ukrannya besar-besar. Iya bisa! Pasar bisa mengabsorbnya? Ya bisa tapi seberapa besasr pasarnya mungkin makin kesini makin mengecil pasarnya. Kita harus membuka mata bahwa kebutuhan benda itu makin lama makin berubah, mengecil dan menyesuaikan dengan banyak hal.

“Banyak yang bisa digali dari keIndonesiaan kita dan bisa diadopsi pada desain-desain kita. Pertama bisa bermain dengan motif dan pattern. Saya paling benci jika keIndonesiaan itu hanya diterjemahkan dengan meletakan motif batik diatas produk meja yang dibuat. Berpikirnya tidak dua atau tiga langkah ke depan. Padahal bisa dengan motif dan pattern atau material dan teknik. Ini saja sama-sama menggunakan rotan alam tapi tampil tidak lagi terkesan kuno. Bentuknya sudah lebih kontemporer. Atau main bermain dengan simbolisme seperti desain  bunga melati yang diolah dengan baik sehingga menjadi collection. Tidak usah berlebihan ada bunga  melati, lotus dan ikan koi dalam satu desain. Lebay kata anak sekarang. Jadi kalau diolah baik bisa jadi satu koleksi untuk tahun 2025. Bisa jadi anyaman, bisa jadi warna. Koleksinya mungkin berwarna putih dan hijau. Ada pattern kecil-kecil. Mungkin anyamannya bisa dibikin menjadi bunga.

“Bisa mengambil inspirasi dari furnitur yang sudah ada sebelumnya. Bisa mengambil dari cerita atau legenda sebelumnya tapi harus diolah supaya ketika bicara pameran furnitur maka kita tahu kolamnya kecil tapi diantara produk sejenis maka produk kita bisa menonjol. Bagaimana produknya harus berbeda, bukan mau berbeda saja tapi memang berbeda itulah yang dilihat orang. Kalau tiap pameran kita mampu menampilkan sesuatu yang beda, dan sesuai dengan kebutuhan maka buyer pun akan datang untuk memenuhi kebutuhan pasarnya. Passion!

“Studi kasus saja dengan salah satu brand yang punya booth di hall C dalam IFEX 2024. Pemiliknya bilang mau membuat furnitur untuk kalangan usia muda namun memiliki ciri keIndonesiaan. Mau Indonesia tapi untuk anak muda! Bayangannya sudah pasti ukir, tenun, batik dan anyaman. Kami dipaksa putar otak agar bisa menemukan ide yang fresh.

“Brand furnitur ini drivenya selalu dimulai dari inovasi. Bukan dari visual semata tapi inovasi produk. Ini yang menjadi tema karena Indonesia yang mau ditampilkan. Kami mengangkat dari keseharian di warung soto pinggir jalan. Dari situ bisa bikin produk furnitur seperti apa? Bisa bikin tempat duduk tapi lesehan. Bisa bikin tikar dengan motif berbeda. Kombinasi material lama dengan yang baru. Itu yang kami lakukan. Kami mengambil inspirasi dari kaleng kerupuk namun diolah menjadi barang yang dibutuhkan oleh anak muda. Kami rubah menjadi lampu tapi bentuknya tidak lagi kaleng kerupuk. Inspirasi bisa datang dari kalengnya atau kerupuknya sendiri. Tapi tidak blek ketiplek! Harus diubah lagi, diubah lagi.

“Ini berkembang. Awalnya dari 3 desain produk dan berkembang lebih banyak. Dalam perjalanannya setelah setahun, kami dapat feedback dari market yang ingin lampunya wireless alias bisa menggunakan baterei sebagai sumber dayanya. Ok! Kami mendengar itu. Itu sebenarnya fungsi untuk mengikuti pameran. Kebanyakan menggagap selesai desain dan memproduksi maka semuanya sudah selesai. Belum juga karena harus mendengarkan feedback untuk memoles produk yang sudah ada sehingga melahirkan produk lebih baru.

“Di brand yang sama kita bikinkan juga dengan mengambil isnpirasi dari tampah beras. Bukan sesuatu yang heboh tapi mengambil sedikit detilnya untuk topping meja. Kami juga mengambil inspirasi dari warteg untuk tempat makan tapi menjadi produk kursi bakso yang serba modern. Kalau di warungan kan ada kursi bakso yang goyang sehinga diikat untuk memperkokohnya. Sekarang dibuatkan versi dari kayu yang kokoh dengan tempat menaruh tas di antara keempat kakinya. Agar bisa lebih santai saat makan. Ini produk distro table yang berangkat dari tampah beras. Detilnya menggunakan anyaman rotan yang lembaran sehingga tinggal dipasangkan ke framenya. Ada versi side table dan coffe tablenya. Itu hanya sekilas dari yang sudah kami bikin. Inspirasi bisa datang dari mana saja dan pentingnya pameran funitur untuk mendapatkan feedback memperbaiki produknya.

“Kita berada di sitausi cultural shift. Sebagai orang Indonesia, sebagian menghendaki bentuk produk yang keEropaan. Sesuatu yang Eropa, sesuatu yang Amerika tapi meninggalkan budaya kita. Padahal sebenarnya kekuatan kita aalah ditempat yang tadi. Yang hadir dalam kehidupan keseharian kita dengan menggunakan material yang diambil dari alam kita sendiri seperti eceng gondok campur metal seperti alumunium. Kita selalu berpikir yang terbaik adalah barang Eropa dan Amerika. Standarnya mereka. Ahkhirnya yang terjadi adalah cultural shift! Kita seakan meniru produk mereka. Garisnya keAmerikaan tapi kita melupakan kekuatan sendiri sebagai seorang putra bangsa. Melalui pameran furnitur sebenarnya membuka mata kalau itu masih menjadi kunci dalam menciptakan produk. (WNID/eM)

https://youtu.be/Ps9i8VKMkFg

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur: “Pasar akan mulai membaik”

EUDR: “Very badly written law”.

Terobosan HIMKI ke China untuk Meningkatkan Daya Saing Global