Tjioe Peter Sutjiono: Membangun Bisnis dengan Gagasan dan Reputasi

Modal utama bisnis itu bukan uang, melainkan reputasi dan kejujuran. Tjioe Peter Sutjiono telah membuktikannya dengan gemilang. Bermodal gagasan, reputasi yang baik, dan hanya sedikit uang Ia membangun bisnis furnitur dan marmer. Produk-produk perusahaannya memiliki pasar ekspor yang luas dan terpelihara dengan baik hingga kini.

Latar belakang pendidikannya tidak berkaitan dengan bisnis yang digelutinya sejak 1992. “Saya ini orang IT (Information Technology). Sekolah dari Strata 1 sampai Strata 3, jurusan IT semua,” kata pemilik brand MM Galleri ini.



Sepulang dari sekolah di Amerika Serikat, Peter enggan berbisnis komputer karena pasar di Indonesia kala itu dinilainya belum siap benar. Untuk berbisnis furnitur rotan yang sedang booming kala itu, ia pun tak punya modal yang cukup. Kedua bisnis itu memang membutuhkan modal besar.

Peter menjadi distributor marmer karena diminta kawannya dari Lampung yang memiliki tambang batu marmer. “Mereka ‘memaksa’ saya karena mereka percaya lantaran saya punya reputasi, dan serius dalam melakukan pekerjaan,” katanya.

Tahun 1992, Peter mendirikan dua perusahaan, distributor marmer Lampung dan pabrik furnitur rotan. “Betul-betul dari nol. Kalau tanya modal saya susah menjelaskan. Nggak ada yang percaya. Modal saya benar-benar kecil sekali, marmer Rp15 juta dan Rotan Rp23,5 juta. Padahal, waktu itu untuk bikin pabrik rotan modalnya miliaran,” terangnya.

Mengandalkan ide dan keseriusan Peter percaya bahwa uang hanya salah satu faktor dalam modal berbisnis. Baginya bisnis itu tergantung ide dan kemauan keras menjabarkan ide itu. “Kalau hanya mengandalkan modal menurut saya sudah kadaluarsa. Apalagi sekarang ide lebih mahal dari modal uang. Makanya perusahaan sekarang lebih menjual ide untuk mengerjakan sesuatu. Alibaba juga menjual ide. Amazon juga. Repot kalau hanya mengandalkan modal. Modal mereka itu terbatas,” ucapnya. 

Sejak awal, ide Peter membuka industri furnitur rotan untuk pasar ekspor. Sampai hari ini, ketika furnitur rotan Indonesia surut, produk furnitur rotannya tetap eksis dan terus diekspor. “Waktu itu saya percaya market furnitur rotan ini bakal besar sekali ke depannya. Salah satu kelebihannya adalah 80% rotan sebagai bahan baku diproduksi hutan Indonesia,” katanya.

Perjuangannya menjadi pengekspor furnitur rotan kelas dunia tidak semudah membalikkan telapak tangan. “Saya pernah diusir waktu menawarkan produk rotan di sebuah pameran furnitur terbesar di Amerika,” ungkapnya.

Dengan bantuan teman, ia bisa masuk ke dalam pameran tapi tetap tak bisa berjualan. Ia keluar masuk stan pameran berpura-pura menjadi pembeli. Satu dua orang ada yang tertarik dengan contoh produk rotan yang dibawanya. Sepulang dari pameran ia mengerjakan order dari Kanada dan Amerika. Distributor furnitur dari kedua negara itu bahkan memodalinya. Mereka percaya, karena reputasi dan keseriusan Peter dalam berbisnis.

Menurutnya, kelemahan pebisnis Indonesia adalah kurang serius mendalami bisnis secara detail. Sehingga hasilnya tidak sanggup bersaing dan bertahan lama di tingkat global. “Menurut saya bisnis itu tak harus besar, walaupun kecil tapi punya daya saing yang kuat di tingkat internasional. Bisnis besar kalau hanya jago kandang, buat apa? Akan tergilas begitu pebisnis dari luar masuk ke Indonesia!” tukasnya.

Jangan melawan arus Berdasarkan pengalamannya, memasarkan marmer tidak sesukar memasarkan furnitur. “Very simple. Waktu dipercaya menjadi distributor marmer, saya melihat Surabaya kala itu, jika dibandingkan Hong Kong, Singapura, Taiwan; masih lah hutan belantara. Masih perlu gedung-gedung. Dan gedung kalau mau mewah harus pakai marmer dan granit. Ini peluang besar,” paparnya.

Saat diminta menjadi distributor marmer dari Lampung, Peter hanya diminta mengurus keuangan dan menghitung stok barang. Tenaga marketing dan lainnya dijanjikan akan dikirim dari Jakarta. Namun lantaran yang dijanjikan tak kunjung datang, Peter lantas memasarkannya sendiri. Selain di Surabaya, ia kerap terbang ke sejumlah kota di Indonesia Timur sambil membawa contoh produk. Hasilnya dalam dua pekan, separuh isi gudang marmer habis terjual. Ia pun menjadikan Surabaya sebagai kantor pusat pemasaran untuk kota-kota di Indonesia Timur. Dalam waktu singkat, Ia memiliki distributor di Banjarmasin, Kalimantan Selatan; yang menjadi distributor terbesar di Indonesia Timur.

Dengan latar pendidikan luar negeri yang berwawasan luas dan berkesadaran global, Peter menerabas batas untuk memasarkan produknya diiringi kualitas dan otentisitas desain tentunya. “Saya tidak percaya pembatasan pasar. Kalau main di satu tempat, market-nya terbatas. Maka saya ekspansi, tahun 1995 saya kombinasi dengan produk lain lalu dipasarkan ke Jakarta. Lama-lama market-nya membesar. Kita harus mengikuti arus tren di bisnis yang kita tekuni. Tidak boleh diam di satu tempat. Perusahaan kecil tidak bisa melawan arus!” tukasnya.

Kini setelah punya nama besar dengan kualitas dan desain terus dijaga, Peter tentu saja bisa melawan arus dan membuat tren. “Batu tak lagi dipasarkan lembaran atau dipotong dengan ukuran seragam, tapi kami menggabungkan artistik dengan teknologi melengkungkan marmer pertama di dunia menjadi karya seni yang dapat dijadikan interior dan furnitur untuk hotel dan rumah. Teknologi melengkungkan marmer ini telah kita patenkan dan berkat inovasi inilah kemudian kami memproduksi bended marbel,” paparnya.

Desain produk yang unik dan eksklusif yang dihasilkan membuat perusahaanya tidak membutuhkan waktu lama untuk menarik minat pelanggan eksklusif. Produk-produknya dicari para kontraktor besar dari Singapura dan Amerika.

“Dengan marmer saat ini saya bisa menyuplai furnitur marmer untuk perusahaan sekelas Christian Dior dan Balenciaga untuk mengisi show room mereka di Asia dan Australia hingga New Zealand,” ungkapnya.



Berkat inovasi-inovasi yang dilakukannya, Peter telah menerima Pinnacle Award dari Natural Stone Institute yang merupakan otoritas tunggal untuk standart instalasi dan aplikasi batu alam sedunia, pada Januari 2019 di Las Vegas, Amerika Serikat. Sekaligus dicantumkan dalam majalah “Building Stone” dari Natural Stone institute, sebagai satu-satunya individu yang mampu mendobrak dominasi Italia di dunia batu, khususnya marmer.

Pinnacle Award, Las Vegas, Amerika Serikat


Penghargaan lain yang diterima Peter antara lain Tattler Design Award Singapore, SIDA Luminary Award, dan BCI Asia Award.

Tattler Design Award Singapore

SIDA Luminary Award

Setelah bertahun-tahun menggeluti industri furnitur rotan, marmer, granit, dan bermacam-macam batu alam maupun batu buatan. Ia mampu melebarkan sayap bisnis ke seantero Nusantara dan mendirikan kantor diantaranya di Manado, Makassar, Bali, Jakarta, dan Singapura. Pabrik dan gudangnya pun terus-menerus diperluas seiring meningkatnya penjualan.Adapun jumlah pekerja yang diserap PT Prospek Manunggal Era Industri maupun PT Mutu Batu Alam Permata kini sedikitnya 1.000 orang. Ke depan, Peter masih terobsesi untuk menambah kapasitas usahanya guna membidik peluang pasar di dalam maupun luar negeri. (WNID/Alex/eM)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur: “Pasar akan mulai membaik”

EUDR: “Very badly written law”.

Terobosan HIMKI ke China untuk Meningkatkan Daya Saing Global