Kris Jannsen: “Saya enjoy prosesnya”

Sejak berapa tahun lalu, Kris Jannsen yang menyebut dirinya sebagai tube radio specialist kian identik dengan produknya. Lelaki asal Perancis ini mulai merestorasi radio tabung dan menetapkan standarnya sendiri. Ia tekuni sejak 2017  saat “Memboyong koleksi saya dari Perancis setelah memperoleh ijin tinggal tetap disini,” ujarnya ditemui di workshopnya di bilangan Cilandak Barat.



Tahun 2018, ia kian fokus memperbaiki dan merestorasi radio tabung. Kris mendapat bantuan dari seorang teknisi radio tabung yang handal. Namun kerja sama itu tak berlangsung lama sejalan dengan keputusan teknisi untuk pulang kampung. Setelah itu Kris justru mendapatkan teknisi muda yang hingga kini banyak membantu kerja restorasi ini.

Ia ingat sejak 2014 sudah mulai mengumpulkan saloon speaker dari pasar loak lokal. “Barang ini biasanya dipakai untuk radio tabung jaman dulu dan semuanya tunggal sehingga mono,” katanya. Bahkan ia menyebutkan kemungkinan besar ia adalah orang pertama yang merestorasi dan menstandarkan sehingga hasilnya sedemikian bagus.

Ia tidak bekerja sendiri namun ada teknisi yang membantu dalam merakit ampli dan mencari bluetooth. “Kami mulai dari situ, saloon speaker jaman dulu direstorasi, diperbaiki dan difungsikan lagi sehingga menjadi speaker aktif mono yang menggunakan bluetooth,” tambahnya. Ia mengaku terinsiprasi dari produk serupa merek tertentu bahkan berupaya melampauinya baik dari sisi tampilan maupun kinerjanya.

Menurutnya, kunci suksesnya adalah menset up standar yang baik, “Sebaik mungkin agar barangnya bandel, elko, kapasitor dan dioda diganti semuanya,” katanya. Menurutnya, diode tidak bisa diukur “tiba-tiba bisa putus,” sambungnya. Apalagi kalau radio sudah masuk ke dalam kabinet atau kotak radio dan dikirimkan ke tempat yang jauh, Jika dioda tetiba putus maka akan sulit memperbaikinya.

Itu sebabnya Kris menyebutkan lebih baik jika menggunakan dasar yang kuat. Buktinya, kurang dari 5% dari total produk yang terjual harus diperbaiki ulang. “Sekitar 130 unit sudah terjual,” ujarnya.

Setelah setengah tahun beroperasi, ia pun mulai memproduksi lemari speaker stereo passif. “Ada teman dari Kanada yang memintanya dan dia mempromosikan produk itu ke teman-temannya,” katanya. Promosi ini sangat efektif sehingga berapa temannya asal Amerika, inggris dan Australia pun membelinya.

Menurutnya, orang-orang anglo saxons sangat menyukai produk semacam ini. “Mereka suka mendengar musik,” katanya.  “Untuk ekspat yang sudah berkeluarga dan tinggal disini maka tidak ada persoalan itu sehingga menawarkannya lebih mudah. Rerata mereka punya tempat dan rumah sehingga bisa beli lemari dengan panjang 1,4-1,6 meter. Ekspat asal Perancis yang mau pulang setelah kontraknya selesai, jika tinggal di apartemen di sana memang agak sulit,” jelasnya panjang lebar.

Menurutnya, kebanyakan kondisi radio tabung yang dijumpainya disini kurang terawat. Bisa jadi karena pemiliknya sudah bosan, atau teknologi yang berubah cepat, atau kebanyakan teknisinya sudah pensiun atau meninggal. “Kalau spareparts tidak masalah, dioda, elko dan kapasitor bisa ditemukan dengan mudah tapi dimensinya jauh lebih kecil dengan spesifikasi yang sama,” katanya. Untuk tabung masih bisa mendapatkan stok lama karena tidak diproduksi lagi. “Mungkin di Russia masih ada tapi kurang cocok karena karakternya tersendiri. Saya pernah beli tabung power EL84 namun tidak suka karena suaranya agak berisik dan keras,” lanjutnya.

Menurutnya, dalam lima tahun terakhir ia banyak belajar karakter dan kualitas tabung. “Terkadang ada tabung merek tertentu bisa bekerja dengan baik jika dikombinasikan dengan produk lainnya. namun terkadang justru tidak bisa. Siemens misalnya bagus namun bright sehingga untuk menggunakannya perlu dikombinasikan dengan tabung power yang bisa membring down bright-nya itu. Perlu modifikasi agar masuk dalam hitungan standar kuping kami,” jelasnya.

Ia pernah mengerjakan lemari audio yang diup cycle. Lemari asal Garut dan memiliki rupa yang sangat bagus sekali dimatanya. “Kami masukan radio tabung Philips ke dalamnya lalu coba mengkombinasikan. Karena merek tabung ada empat dan untuk power ada dua, dicoba pakai speaker Philips full range buat radio tapi semua punya karakter sendiri. Dalam dua hari kami harus berputar sampai menemukan kombinasi terbaik. Harus dimodifikasi sampai dapat kombinasi yang terbaik untuknya. Itu butuh dua hari kerja untuk menemukannya,” jelasnya.



Trial and error. Tidak ada data yang pasti sekalipun sebelumnya sudah ada data yang dikoleksi. Harus terus mencoba dan mendengar agar dapat hasil yang cocok. “Coba terus sampai memperoleh kualitasnya,” tegasnya. Namun ia mengakui bila semua proses yang dijalaninya dinikmati. “I enjoy the process,” lanjutnya.

Ia juga mulai merestorasi dan membuat lemari atau kabinet radio. Ini dimulai dengan kiriman dari pelanggan namun saat itu Kris mengaku belum mendapatkan tukang kayu yang bisa melakukannya. Secara kebetulan ia bertemu dengan lekasi asal Spanyol yang punya workshop. Orang ini sudah lebih 10 tahun merestorasi mebel vintage dan dikirimkan ke luar negeri. Kris tahu jika orang yang sama mendesain sendiri dan produknya dikirimkan ke took mebel keluarganya di Barcelona sana. “Sejak 5 tahun lalu kami mulai bekerja sama. Ia buatkan saya lemari art deco dengan menggunakan jati khusus agar mendapatkan motifnya. Ia yang membantu desain dan finishing karena model ini untuk radio sebelum tahun 1960-an. Desainnya sangat cocok.

“Sejak itu kami eksplor untuk pembuatan rumah radio. Kami coba mengikuti desain dari jerman dengan modifikasi agar lebih praktis, misal membuat pintu dengan bukaan ke depan, dan merubah tempat simpan piringan hitam (PH) agar dijajar berdiri. Tidak ditumpuk,” jelasnya. Kris menjelaskan jika diera 1950-an akhir PH lebih tebal dari yang diproduksi pada era 1970-an. “Jika ditumpuk akan merusak ph. Harus disimpan berdiri, tidak lagi bertumpuk. Jadi ada modifikasi ketinggian laci PH,” sambungnya. Untuk kaki-kaki cabinet, Kris memilih tidak menggunakan dari metal dengan mempertimbangkan iklim tropis untuk menghindari timbulnya karat dikemudian hari. “Pakai jati akan lebih aman,” tegasnya.

Untuk radio tabung, power speaker tidak terlalu besar seperti speaker bass reflex yang banyak digunakan sejak tahun 1970 atau 1980-an. Jadi tidak terlalu berpengaruh jika menggunakan kayu jati. “Digunakan peredam suara yang tebal di dalamnya untuk mengurangi persoalan getaran atau vibrasi. Vibarsi ini merupakan musuh terbesar jarum PH, itu bila rumah radionya  jadi satu dengan pemutar PH,” katanya. “Kalau hanya radio tabung sebenarnya tidak masalah,” sambungnya.

Perkembangan teknik produksi membuat pihaknya mulai menggunakan bahan peredam suara bila memproduksi kotak speaker. “Dulu tidak digunakan karena powernya tidak besar. Itu sebabnya bisa tetap menggunakan kayu jati,” katanya.

Untuk lemari speaker akan dipertimbangkan estetikanya. “Jika dilihat audiofan atau spesialis mungkin barang itu tidak sempurna,” katanya. Untuk yang memproduksi kotak sepeaker secara massal harus menggunakan MDF berketebalan tertentu agar kualitas suaranya sama. Namun untuk Kris penggunaan speaker full range sudahlah cukup. “Pasti akan dampaknya, pertanyaannya apakah kuping kita bisa menangkapnya,” lanjutnya.

Speaker asal Sinar Baja itu dianggapnya cukup bagus, hanya perlu menambahkan twiter agar suaranya lebih nyaring. Ia akui pihaknya tidak banyak menggunakan piranti canggih seperti pabrik speaker yang memproduksi massal. “Follow the rules of ear. Jika terasa suara dari speaker terasas nyaman dan enak maka saya tidak akan mencari yang lebih dari itu. Ini untuk easy listening. Ini membuatnya bisa dikombinasikan penggunaannya dengan ampli apa saja”, katanya.

Sensitifitas tinggi membuat bisa menggunakan ampli vintage dengan tenaga sekitar 16-17 Watt untuk menghasilkan suara bagus. Speaker ini tidak butuh banyak power sehingga efisien dan “Tidak ada pelanggan yang komplain karena mereka suka produk kami,” katanya.

Ia mengungkapkan secara teoritis kayu solid tidak bisa untuk volume sebensar-besarnya. Akan ada distorsi. Untuk menggunakan yang power tinggi, dimasukanlah MDF dalam kotak speaker namun ini membuatnya sangat berat.

Kris mengakui jika produknya tergolong barang yang impulse buying, “Untuk mereka yang berdaya beli tinggi. Niche market,” tegasnya. Ia ingat pernah merestorasi radio tabung kecil dengan harga kisaran IDR8-9 Juta. Orang awam melihat barang sekecil itu berharga sangat mahal, “Tapi itu barang seni apalagi modal untuk merestorasi total juga besar,” sambungnya.

Ia memahami bila kebanyaka orang sering membandingkan produknya dengan speaker aktif dari sebuah merek terkenal seharga  IDR6 juta. Menurutnya, jangan dibandingkan langsung karena  tidak apple to apple. “Yang kami jual itu barang dengan sejarah panjang. Sangat unik dan tidak mudah diperoleh lagi,” jelasnya.

Menurutnya, kemajuan teknologi membuat produk saat ini tidak bisa diservis jika rusak. Komponen  didalamnya disolder atau dilem sehingga tidak bisa diperbaiki. Ini berbeda dengan radio produksi tahun 1970-an yang masih bisa diperbaiki. “Kebanyakan produk sekarang sekali pakai. Rusak lantas dibuang karena tidak bisa diperbaiki. Yang kita dapat adalah sampah elektronik dan jumlahnya sangat banyak,” katanya.

Menurutnya, radio tabung yang diproduksi era 1950 dan 1960-an masih bisa berfungsi hingga kini. Jika ada kerusakan bisa diperbaiki karena komponen tidak masalah. “Duapuluh tahun ke depan, produk saya masih bisa digunakan sedang produk saat ini justru tak bisa digunakan setelah delapan tahun digunakan,” tegas Kris. (WNID/eM)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur: “Pasar akan mulai membaik”

EUDR: “Very badly written law”.

Terobosan HIMKI ke China untuk Meningkatkan Daya Saing Global