Kembalinya Kayu sebagai Material Bangunan Bertingkat

Beton merupakan poduk rekayasa teknologi yang dipandang sebagai penemuan terbesar di awal abad ke 20 lalu. Selama satu abad bangunan beton bermunculan secara cepat dan membentuk hutan beton di perkotaan manapun. Perkembangan ini telah menggusur penggunaan kayu sebagai material bangunan dalam seabad terakhir. Namun diakhir abad itu, gerakan kembali ke alam telah mengembangkan kemungkinan pembangunan gedung kayu multi lantai. Di kawasan Shoreditch, telah berdiri The Black and White Building yang merupakan gedung kayu perkantoran tertinggi di pusat kota London, Inggris.

Berdiri di antara gedung-gedung beton, bangunan dengan material utama kayu menjadi tonggak penting akan kebangkitan penggunaan kembali material yang sangat efisien dan sustainable. Proyek ini mendorong hingga pencapaian batas tertinggi arsitektural kayu, baik untuk keperluan eksternal maupun internal; sekaligus menyediakan kualitas ruangan yang tinggi bagi tenannya. Gedung yang menawarkan fleksibilitas dan berbagi ruang kerja merupakan tonggak penting bagi mass timber structure.






Gedung tujuh lantai setinggi 17,8 Meter yang didesain firma arsitektur Waugh Thistleton Architects (WTA) menjadi pembeda dari gedung-gedung sekitarannya dengan struktur beton dan kaca. Gedung ini diklaim menghasilkan emisi gas karbon lebih rendah 37% dari gedung beton setaranya. The Black & White menekan keluarnya 1.0837 ton karbon dioksida. Diperkirakan 55% karbon yang dihasilkan diredam struktur kayunya. “Ini merupakan bangun dengan carbon saving yang masif, yang pencapaiannya jauh dibawah target yang ditetapkan London Energy Transformation Initiative,” kata Director WTA Andrew Waugh.

Sebanyak 1.330 Meter Kubik Kayu yang digunakan untuk membuat struktur inti bangunan yang inovatif. Untuk keperluan itu, 277 pohon beech dan 1.547 pohon spruce telah dipanen dari hutan lestari di Jerman dan Austria. Firma arsitek mengusulkan pembangunan struktur dari dasa dengan menggunakan cross-laminated timber (CLT) dan laminated veneer lumber (LVL). Material rekayasa kayu (engineered wooden) yang berkinerja tinggi menghasilkan lebih sedikit emisi gas rumah kaca (greenhouse gas emissions) dalam proses produksinya dibandingkan dengan semen atau besi baja. Mampu menyimpan ribuan ton karbon dioksida, namun berdaya tahan tinggi.

Selain menghasilkan, sebagai material bangunan kayu mengurangi limbah lebih banyak dibanding dengan material besi, baja dan semen. CLT dan LVL juga bisa diperbarui secara total (totally replenishable). Kerangka CLT dipilih karena alasan pengadaannya yang bisa berkelanjutan, ringan namun kuat. sedangkan Glulam yang terbuat dari lapisan kayu berlaminasi perekat alias glue-laminated layers of timber digunakan untuk dinding penghalang (curtain walling), sedang kolom dan balokan dibuat dari LVL kayu beech.

CLT sangat ringan dan mudah ditransportasikan dibanding dengan material bangunan lainnya seperti beton dan besi baja. Ini mengurangi frekuensi deliveri yang dibutuhkan sesuai jumlah yang dibutuhkan di lokasi konstruksi. Ini tidak hanya menunjukkan tingkat pengurang karbon dalam transportasi logisitk, namun juga membangun gedung di tengah area kota yang padat bisa mengurangi gangguan bagi komunitas lingkungan dan pengguna jalan lainnya.

Di dalam crisp cross-laminated timber slab dipasangkan kerangka dari laminated veneer lumber (LVL) kayu beech. Untuk keperluan penggunaan eksternal terutama di bagian muka gedung digunakan kayu tulip asal hutan di Amerika Utara. “Dampak penggunaan material berkarbon tinggi seperti alumunium dan kaca merambah hingga ke luar bangunan. Itu sebabnya bagian louvres dalam proyek ini berbahan kayu," kata David Venables, Director American Hardwood Export Council (AHEC) untuk kawasan Eropa. Bagian ini terbuat dari kayu tulip yang dimodifikasi secara thermal (Thermally Modification Timber). Bagian ini mampu mengurangi secara masif konsumsi energi dengan melindungi zona interiornya dari paparan sinar matahari. Sekaligus meminimalkan jumlah penggunaan unrecyclable solar coating untuk melindungi jendela-jendelanya.

Menurut Waugh, pihaknya membuat model komputasi parametrik dari bangunan dengan menggunakan lintasan matahari untuk menghitung secara cermat jumlah penyinaran yang diperoleh bangunan. Dengan demikian, firma WTA bisa mendesain solar shading yang membolehkan jumlah pencahayaan yang bisa diperoleh ruangan di dalamnya. “Desain solar shading pada bagian barat dan Utara muka gedung berorientasi vertikal, sedang di bagian selatan muka gedung berorientasi horisontal,” katanya. “Ada enam perbedaan kedalaman pada desain solar shading dari kayu yang dipalikasikan pada gedung ini,” lanjutnya.

Hingga kini, kayu yang dimodifikasi secara thermal digunakan meluas untuk keperluan eksternal seperti decking, cladding dan rangka jendela kayu; namun umumnya tidak menggunakan kayu tulip. Data dari Forest Invetory Analysis pada Departemen Pertanian Amerika Serikat memperlihatkan volumenya hanya 7,7% dari total stok kayu keras yang ada. AHEC bertindak sebagai penasehat teknis firma arsitek WTA menyarankan penggunaan thermally modified timber (TMT) untuk penggunaan eksternal. Rekomendasi ini dikeluarkan setelah serangkaian riset yang ekstensif bahwa kayu tulip memiliki kekuatan dan daya tahan cukup baik terhadap kondisi eksternal setelah memperoleh thermal modification. Kerja sama antara keduanya sudah mulai terjadi sejak London Design Festival pada tahun 2018.

Modifikasi thermal tidak menggunakan bahan kimia apapun. Menurut Venables, cukup dengan memilih kayu dan ‘memanggangnya’. Proses ini meningkatkan stabilitas dan daya tahan kayu dengan mengkristalisasikan kambiumnya dan melindunginya dari penyusutan dan pergerakan. “Selama modifikasi thermal, kayu dipanaskan hingga melebihi suhu 180o Celsius sehingga kelembabannya turun sebesar 4-6%,” katanya.

Proses ini menghentikan perkembangan jamur dan serangga, sedang baking seals yang tercipta tidak memungkinkan kayu untuk melengkung, pecah atau bergerak. Selama proyek ini, AHEC berkesempatan untuk melakukan uji ketahanan kebakaran untuk membuktikan kayu tulip TMT telah memperoleh fire proof treatment dan memenuhi persyaratan proteksi ketahanan terhadap kebakaran untuk bangunan bertingkat.

Dalam The Black & White Building, bagian luar dari louvres yang menggunakan kayu tulip yang telah dimodifikasi secara thermal memiliki finishing smooth sehingga tidak membutukan lagi proses pengamplasan atau treatment lainnya. Jika nantinya gedung akan dirubuhkan, bagian ini bisa dibongkar atau dialihkan penggunaannya sesuai tujuan penggunaan berikutnya.

Dengan kayu jenis ini maka sesuai penggunaannya akan bisa diproses ulang dengan mesin atau dilakukan profiling. Ini merupakan keuntungan besar karena bisa dengan mudah diperbaiki atau sama sekali dihilangkan. “Bersamaan dengan jalannya waktu, warna dibagian ini akan kian memudar sehingga terkesan telah teroksidasi seperti yang terjadi pada furnitur antik dan menampilkan karakternya sesuai dengan usianya,” tutur Venables. Hal ini bisa dilihat secara kasat mata pada Maggie’s Center di Oldham. Bangunan pertama di Inggris yang menggunakan kayu tulip yang dimodifikasi secara thermal.

The Black & White Building yang sangat inovatif membuktikan bahwa konstruksi minimal karbon dapat dicapai dengan desain yang cerdas. Ini merupakan preseden pertama bagi bangunan kayu multi tingkat dalam era arsitektur kontemporer. “Kami ingin menghentikan penggunaan beton dan besi baja dalam jumlah besar, sekaligus mendemostrasikan tersedianya alternatif,” kata Waugh. Kini, akan lebih banyak desainer yang perlu mempertimbangkan factor lingkungan dan material yang akan digunakannya. The Black & White building telah menciptakan tonggak baru untuk keberlanjutan dan kemajuan desain secara ekologis. (WoodNewsID/eM)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur: “Pasar akan mulai membaik”

EUDR: “Very badly written law”.

Terobosan HIMKI ke China untuk Meningkatkan Daya Saing Global