Julius Hoesan: Anomali Rotan di Indonesia

Saat membuka Rapat Kerja nasional Asosiasi Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) pada akhir Januari lalu Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki sempat menyinggung potensi rotan mentah yang belum termanfaatkan benar. “Di Kalimantan Timur diproduksi sekitar 10.000 Ton perbulannya, sementara sentra industri mebel rotan di Pulau Jawa hanya bisa menyerap 1.000 ton perbulannya. Sisanya diselundupkan karena kalau tidak digunakan akan busuk rotannya,” katanya.Selanjutnya Ia mendesak pengolahan rotan mentah karena kebijakannya akan menjadi pertarungan. Kalau tak termanfaatkan akan membuka peluang penyelundupannya. Ini membuat kita bepikir untuk mengekspor rotan mentah yang tidak termanfaatkan itu, tapi asosiasi pasti akan menantangnya,” ujar Menteri Teten. “Namun jangan melakukannya itu membuat kita jangan sampai mendukung upaya penyelundupan juga kan,” tegasnya.
Pernyataan Menteri Teten ternyata meggelitik Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia Julius Hoesan (72 tahun). Lelaki yang yang telah menghasilkan skripsi dan tesis akademik mengenai rotan, mengutip International Tropical Timber organization (ITTO) yang menyatakan jumlah rotan di Indonesia sangatlah besar. Dari jumlah itu, yang bisa dipanen pertahunnya berkisar di angka 1 juta Ton. “Bayangkan luar biasa besarnya jumlah itu namun berdasarkan pertimbangan upaya pelestarian berkesinambungan maka ditetapkan hanya 625.000 Ton lah yang bisa dipanen pertahunnya,” ujarnya.
Menurutnya, itu merupakan jumlah rotan basah yang usai diproses menjadi bahan setengah jadi jumlahnya menyusut menjadi 250.000 Ton pertahunnya. Sementara jumlah konsumsi pasar domestik hanya mencapai 30.000 Ton rotan yang telah diolah menjadi barang setengah jadi. “Itu kebutuhan pertahunnya. Jadi secara total hanya sekitar 10% yang bisa diserap oleh industri dalam negeri untuk diolah atau diproduksi,” jelasnya.
Menyinggung pernyataan Menteri Teten Masduki yang mempersoalkan kemungkinan untuk membuka keran ekspor bahan baku rotan alam karena tidak terserap pasar domestik. Namun keinginan pemerintah terganggu karena adanya perbedaan pendapat dengan sejumlah aosiasi industri yang jelas-jelas menentangnya. Mungkin ini sejalan dengan semangat untuk tidak lagi mengeskpor bahan mentah.


Wood News ID: “Lantas apa yang harus dilakukan?”


Julius Hoesan: “Saya berpikir bagaimana pemahaman tentang dampak dari Peraturan Menteri Perdagangan RI (Permendag) No. 31 tahun 2011. Pemerintah saat itu melarang ekspor rotan dalam segala bentuk bahan baku, mulai dari mentah, asalan atau setengah jadi untuk memproteksi industri mebel dalam negeri. Itu dilengkapi dengan Permendag No.36/2011 dan No.37/2011. Menurut saya, larangan ekspor rotan terutama dalam bentuk setengah jadi itu semata-mata untuk memproteksi industri dalam negeri tanpa mempedulikan kondisi sebenarnya yang ada. Kajiannya hanya untuk melindungi industri mebel dalam negeri yang berpusat di Pulau Jawa.

Permendag No.35/2011 dilengkapi dengan Permendag No. 36/2011 yang mengatur pengawasasn distribusi bahan baku mulai dari daerah penghasil sampai tujuan akhirnya ke Pulau Jawa. Bentuknya adalah setiap pengangkutan rotan baik dalam keadaan mentah ataupun setengah jadi semuanya harus diverifikasi oleh surveyor, dalam hal ini PT Sucofindo. Kalau mau mengangkut dari satu kabupaten ke kabupaten lain, atau antarpulau seperti ke Jawa maka tiap kali pengakutan harus diverfikasi surveyor. Ketika sudah sampai di pelabuhan tujuan, entah pulau yang sama atau berbeda seperti Jawa maka sebelum dilakukan pembongkaran harus dimintakan verifikasinya dengan surveyor.

Tujuan dari Permendag itu adalah mengawasi pergerakan rotan-rotan itu agar tidak bisa diselundupkan ke luar negeri. Diawasi mulai dari pengangkutan di daerah asal hingga ke tujuan terakhirnya, harus diverfikasi semata agar tidak diselundupkan. Ini karena isyu penyelundupan rotan mentah yang terlalu keras saat itu. Ini telah mempersulit atau menimbulkan kesulitan-kesulitan yang menghambat dan mengakibatkan banyak pihak menghentikan kegiatannya. Tidak di semua lokasi pemuatan memiliki kantor perwakilan surveyor. Misalnya, ada rotan yang mau diangkut dari kecamatan X di Sulawesi dengan tujuan akhir Pulau Jawa maka mereka harus pergi ke ibukota provinsi yang terdapat kantor surveyor itu.


Wood News ID: “Kesulitannya sudah sejak awal?


Julius Hoesan: “Nah itu lah yang saya katakan kesulitan pertama yang langsung dihadapi orang di daerah penghasil rotan. Pertama, Permendag N0.35/2011 yang melarang ekspor rotan dalam segala bentuk ke luar negeri tapi tidak semua rotan bisa diserap industri di Pulau Jawa. Kedua, Permendag No. 36/2011 telah menimbulkan ekonomi berbiaya tinggi karena mengharuskan setiap pergerakan rotan mulai dari tempat asal hingga ke tujuan akhir memerlukan verifikasi dari surveyor yang ditunjuk. Ini ditambah Permendag No. 37/2011 yang seolah adalah solusi untuk bahan baku rotan yaitu dengan sistem resi gudang. Pemerintah seolah ingin menampung semua hasil produkasi bahan baku yang tidak terserap industri penggunanya di dalam negeri, tapi itu hanya cerita saja. Kami tahu tidaklah mudah untuk mewujudkannya, namun pemerintah bersikeras dengan mengeluarkan peraturan itu tanpa tahu dimana kegunaannya.


Wood News ID: “Menarik nih, lantas?”


Julius Hoesan: “Yang pertama dicabut adalah Permendag 36/2011, mungkin satu-dua tahun setelah diberlakukan. Ini karena jelas berdampak pada kesulitan bagi orang di daerah. Nah tadi kita Kembali untuk mencari solusinya setelah kurang lebih berlaku selama 12 tahun. Kenyataanya industri pengolahan bahan baku di daerah sudah banyak yang berguguran. Mungkin hanya tersisa 10% dibanding dengan jumlah saat sebelum tahun 2011. Itu pertama.

Yang kedua, ternyata proteksi atau larangan ekspor bahan baku rotan ini tidak lah mendorong pertumbuhan industri mebel rotan yang berpusat di Pulau Jawa. Malahan banyak yang sudah beralih menggunakan rotan sintetik atau plastik. Kemudian, industri mebel rotan yang bertahan di Pulau Jawa justru tidak henti-hentinya berteriak kesulitan bahan baku. Ini kan anomali!

Larangan ekspor rotan tadinya diharapkan menyebabkan berlimpahnya bahan baku rotan di dalam negeri, dan terus bertumbuhnya industri mebel rotan. Kenyataannya justru sebaliknya dan mereka yang bertahan sudah beralih menggunakan bahan sintetis. Penyelundupan pun ternyata tidak pernah bisa dibasmi. Tujuan dari peraturan ini selama bertahun tahun lalu sudah terlihat tidaklah efektif. Malah memunculkan anomali. Apa yang diharapkan justru menjadi terbalik perwujudannya. Ini yang perlu dipahami secara Bersama.

Ini yang disebut Menteri Teten bahwa kebijakannya menjadi tempat pertempuran. Pertempuran antara yang menghendaki proteksi padahal hanya mampu menyerap 10%, sementara sisanya yang 90% tetap terselundupkan.


Wood News ID: “Bisa dipertanyakan industri yang menghendaki pelarangan justru sebenarnya menghendaki terjadinya penyelundupan itu?


Julius Hoesan: “Bukan itu. Kami dengar selama 2 tahun terakhir Menteri Teten telah berkeliling ke berbagai daerah penghasil rotan seperti Kalimantan. Beliau pasti banyak mendapatkan masukan dan melihat fakta sehingga punya pandangan sesuai dengan yang kami ketahui. Potensi produksi rotan sangatlah besar. Indonesia dikenal sebagai penghasil bahan baku rotan terbesar di dunia, dalam kuantitas maupun jumlah spesiesnya. Beliau juga pasti sudah mendapatkan banyak masukan atau mengetahui pemakaian bahan baku rotan oleh industri mebel rotan dalam negeri yang sangat terbatas. Terbatas dalam jumlah dan spesies yang digunakannya sehingga dalam sambutannya pada Rakernas Asmindo Januari lalu mengusulkan adanya ekspor rotan yang tidak terserap.

Itu posisi beliau saat ini namun dikatakan pula usulannya sudah pasti ditentang oleh asosiasi industri yang berkepentingan. Jadi sudah terbaca. Menteri Teten mengusulkannya langsung namun juga menyatakan sudah pasti akan ditentang. Jadi jelas kepentingan diwakili asosiasi-asosiasi industri itu.

Apa yan dikatakan Menteri Teten sudah bagus. Menurut kami yang berkecimpung dalam industri rotan, beliau memahami situasinya sehingga diusulkan yang tidak terserap untuk diekspor sekalipun ditentang oleh asosiasi-asosiasi industri.

Semuanya kembali ke pemerintah. Bukan ditentukan oleh pihak-pihak diluar pemerintah. Ini kan kepentingan pemerintah. Yang mengeluarkan peraturan larangan juga pemerintah. Pemerintah diwakili Menteri Teten mengusulkan untuk mengeskpor rotan yang tidak terserap juga tergantung pemerintah. Ini sesusatu hal yang  bagus karena sudah ada pejabat tinggi pemerintah yang memahami situasinya.

Menurut saya sudah bagus karena sudah ada orang pemerintah yang memperhatikan komoditas rotan ini. Sebelumnya tidak orang pemerintah yang memikirkan kepentingan masyarakat di daerah penghasil rotan, mulai dari petani pemanennya, pengepul, hingga industri pengolahannya. Saya harus berterima kasih ke Menteri Teten karena sudah ada niatannya untuk memperbaikinya.


WoodNews ID: “itu kan tidak cukup untuk memperbaikinya?


Julius Hoesan: “Saya ingin katakan pada mereka yang tidak setuju akan ekspor rotan yang tidak terserap industri mebel dalam negeri, baik pengusaha atau pihak lain yang berkepentingan maka perlu diberikan pemaham yang sama akan potensi besar rotan alam Indonesia namun hanya sekian persen yang bisa terserap.

Permahaman pertama adalah nilai-nilai ekonomis yang sangat besar itu mubazir. Kepentingan untuk memproteksi industri dalam negeri telah menelantarkan kepentingan yang lebih besar lagi. Katakanlah dari 300-an spesies rotan endemik di hutan-hutan Indonesia mungkin hanya sekitar 10% diantaranya yang digunakan industri mebel di dalam negeri. Sisanya dibiarkan tumbuh dalam hutan sehingga tidak lagi bernilai ekonomis. Ini akan merugikan bangsa kita sendiri karena memilikinya, tapi membiarkannya tanpa memanfaatkannya.

Kerugian kedua adalah masyarakat di sekitar hutan hanya bisa melihat tanaman rotan. Mereka tahu akan nilai ekonomisnya namun itu hanya berlaku di pasar luar negeri. Di pasar dalam negerinya sendiri dilarang dimanfaatkan sehingga tidak bisa dipergunakan.

Kerugian ketiga adalah Permendag itu sudah berlaku selama 12 tahun dan harapan pemerintah untuk bertumbuhnya industri mebel rotan ternyata terbalik. Banyak pihak yang menjanjikan kepada pemeritah untuk menyerap semua produksinya dan ternyata janji-janji ini tidaklah bisa dipenuhi. Yang terjadi justru sebaliknya.

Pemahaman ini lah yang harus merata sehingga bisa mengeliminir pertentangan yang terjadi sehingga harus diputuskan segera bahwa barang yang tidak terserap haruslah dicarikan pasarnya. Permasalahannya sederhana yaitu pemasarannya. Ini yang harus dibenahi segera. Dari sepuluh pintu yang ada hanya satu pintu keluar yang diizinkan. Sembilan pintu tetap ditutup padahal satu pintu sudah tak bisa digunakan sebagai exitnya. Itu dulu yang harus dilakukan.

Seandainya terjadi ekspor rotan yang tidak terserap maka bagaimana dampaknya terhadap industri rotan dalam negeri. Kami sudah melakukan perhitungannya seperti pengaturan kembali yang pernah dilakukan pemerintah pada tahun 2005. Diberlakukan instrumen kuota ekspor dengan mendahulukan kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Kuota ekspor itu bukan ditutup. Artinya industri dalan negeri jika mengalami kesulitan bahan baku maka kuota ekspor itu bisa ditunda.

Jadi ada mekanisme wajib pasok dan kuota. Ada juga kuota nasional yang mempertimbangkan kelestarian. Semua mekanisme ada sehingga diharapkan bisa menjaga semua kebutuhan dan keseimbangan. Mekanisme semacam itu yang bisa dipertimbangkan atau bisa dibicarakan tapi terlebih dahulu perlu ada kesepahaman tentang dampak Permendag yang melarang ekspor total. Kira-kira itu yang harus diperhatikan benar sebelum kita melangkah kesana.


Wood News ID: “Jika tidak dipanen lantas bagaimana nasib rotannya?”


Julius Hoesan: “Rotan yang sudah terlanjur ditebang dan tidak terserap pasar dalam negeri, lama-kelamaan akan membusuk atau hancur dimakan serangga bubuk. Jika rotan itu tidak dipanen maka tidak akan ada nilai ekonomisnya. Rotan akan menua, kian panjang sulurnya dan dengan terlewatinya usia panennya maka akan menurunkan mutunya.


Wood News ID: “Jika tidak dipanen, jumlah rotan dihutan Indonesia bertambah banyak?”


Julius Hoesan: “Selama 12 tahun berlakunya larangan, rotan yang tumbuh di hutan kian banyak volumenya karena terus bertumbuh tanpa pernah dipanen. Kalaupun dipanen, jumlahnya terbatas. Nilai ekonomis rotan sudah tidak besar karena larangan ekspor. Pemerintah terutama Kementrian Kehutanan justru banyak membuat peraturan tentang rotan dan yang menghambat kepentingan ekonomi petani penghasilnya. Ijin pemungutan rotan selalu berubah dari waktu ke waktu, membuat komoditi ini kian terpuruk. Ini menghambat pemungutan dan pengangkutan rotan dari hutan ke industri setengah jadi, dan ke industri penggunanya. Ini juga harus ditinjau Kembali.

Rotan alam tumbuh liar dan membawa manfaat bagi masyarakat dan industri barang jadinya. Peraturan yang sering berubah menghambat minat untuk memanen rotan. Menurut saya yang perlu dijaga adalah bagaimana mengatur sehingga kelestariannya tetap terjaga. Kedua, pemerintah akan tetap mendapatkan penghasilan dari Provisi Sumber Daya Hutan atau PSDH. Biarkanlah masyarakat petani bebas memungut rotan dari hutan, sementara pemerintah menjaga kelestariannya yang dikaitkan dengan perijinan pengusahaan rotan dan diawasi pemenuhan kewajiban PSDH. Itu saja sudah sangat membantu kehidupan masyarakat. (WNID/eM)




 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur: “Pasar akan mulai membaik”

EUDR: “Very badly written law”.

Terobosan HIMKI ke China untuk Meningkatkan Daya Saing Global