Julius Hoesan: Anomali Rotan di Indonesia
Pernyataan Menteri Teten ternyata meggelitik Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia Julius Hoesan (72 tahun). Lelaki yang yang telah menghasilkan skripsi dan tesis akademik mengenai rotan, mengutip International Tropical Timber organization (ITTO) yang menyatakan jumlah rotan di Indonesia sangatlah besar. Dari jumlah itu, yang bisa dipanen pertahunnya berkisar di angka 1 juta Ton. “Bayangkan luar biasa besarnya jumlah itu namun berdasarkan pertimbangan upaya pelestarian berkesinambungan maka ditetapkan hanya 625.000 Ton lah yang bisa dipanen pertahunnya,” ujarnya.
Menurutnya, itu merupakan jumlah rotan basah yang usai diproses menjadi bahan setengah jadi jumlahnya menyusut menjadi 250.000 Ton pertahunnya. Sementara jumlah konsumsi pasar domestik hanya mencapai 30.000 Ton rotan yang telah diolah menjadi barang setengah jadi. “Itu kebutuhan pertahunnya. Jadi secara total hanya sekitar 10% yang bisa diserap oleh industri dalam negeri untuk diolah atau diproduksi,” jelasnya.
Menyinggung pernyataan Menteri Teten Masduki yang mempersoalkan kemungkinan untuk membuka keran ekspor bahan baku rotan alam karena tidak terserap pasar domestik. Namun keinginan pemerintah terganggu karena adanya perbedaan pendapat dengan sejumlah aosiasi industri yang jelas-jelas menentangnya. Mungkin ini sejalan dengan semangat untuk tidak lagi mengeskpor bahan mentah.
Wood News
ID: “Lantas apa yang harus dilakukan?”
Julius
Hoesan: “Saya berpikir bagaimana pemahaman tentang dampak dari Peraturan Menteri
Perdagangan RI (Permendag) No. 31 tahun 2011. Pemerintah saat itu melarang
ekspor rotan dalam segala bentuk bahan baku, mulai dari mentah, asalan atau
setengah jadi untuk memproteksi industri mebel dalam negeri. Itu dilengkapi
dengan Permendag No.36/2011 dan No.37/2011. Menurut saya, larangan ekspor rotan
terutama dalam bentuk setengah jadi itu semata-mata untuk memproteksi industri
dalam negeri tanpa mempedulikan kondisi sebenarnya yang ada. Kajiannya hanya
untuk melindungi industri mebel dalam negeri yang berpusat di Pulau Jawa.
Permendag No.35/2011 dilengkapi dengan Permendag
No. 36/2011 yang mengatur pengawasasn distribusi bahan baku mulai dari daerah
penghasil sampai tujuan akhirnya ke Pulau Jawa. Bentuknya adalah setiap
pengangkutan rotan baik dalam keadaan mentah ataupun setengah jadi semuanya
harus diverifikasi oleh surveyor, dalam hal ini PT Sucofindo. Kalau mau
mengangkut dari satu kabupaten ke kabupaten lain, atau antarpulau seperti ke
Jawa maka tiap kali pengakutan harus diverfikasi surveyor. Ketika sudah sampai
di pelabuhan tujuan, entah pulau yang sama atau berbeda seperti Jawa maka
sebelum dilakukan pembongkaran harus dimintakan verifikasinya dengan surveyor.
Tujuan dari Permendag itu adalah mengawasi
pergerakan rotan-rotan itu agar tidak bisa diselundupkan ke luar negeri.
Diawasi mulai dari pengangkutan di daerah asal hingga ke tujuan terakhirnya,
harus diverfikasi semata agar tidak diselundupkan. Ini karena isyu
penyelundupan rotan mentah yang terlalu keras saat itu. Ini telah mempersulit
atau menimbulkan kesulitan-kesulitan yang menghambat dan mengakibatkan banyak
pihak menghentikan kegiatannya. Tidak di semua lokasi pemuatan memiliki kantor
perwakilan surveyor. Misalnya, ada rotan yang mau diangkut dari kecamatan X di
Sulawesi dengan tujuan akhir Pulau Jawa maka mereka harus pergi ke ibukota
provinsi yang terdapat kantor surveyor itu.
Wood News
ID: “Kesulitannya sudah sejak awal?
Julius
Hoesan: “Nah itu lah yang saya katakan kesulitan pertama yang langsung dihadapi
orang di daerah penghasil rotan. Pertama, Permendag N0.35/2011 yang melarang
ekspor rotan dalam segala bentuk ke luar negeri tapi tidak semua rotan bisa
diserap industri di Pulau Jawa. Kedua, Permendag No. 36/2011 telah menimbulkan
ekonomi berbiaya tinggi karena mengharuskan setiap pergerakan rotan mulai dari
tempat asal hingga ke tujuan akhir memerlukan verifikasi dari surveyor yang
ditunjuk. Ini ditambah Permendag No. 37/2011 yang seolah adalah solusi untuk
bahan baku rotan yaitu dengan sistem resi gudang. Pemerintah seolah ingin
menampung semua hasil produkasi bahan baku yang tidak terserap industri
penggunanya di dalam negeri, tapi itu hanya cerita saja. Kami tahu tidaklah
mudah untuk mewujudkannya, namun pemerintah bersikeras dengan mengeluarkan
peraturan itu tanpa tahu dimana kegunaannya.
Wood News
ID: “Menarik nih, lantas?”
Julius
Hoesan: “Yang pertama dicabut adalah Permendag 36/2011, mungkin satu-dua tahun
setelah diberlakukan. Ini karena jelas berdampak pada kesulitan bagi orang di
daerah. Nah tadi kita Kembali untuk mencari solusinya setelah kurang lebih
berlaku selama 12 tahun. Kenyataanya industri pengolahan bahan baku di daerah
sudah banyak yang berguguran. Mungkin hanya tersisa 10% dibanding dengan jumlah
saat sebelum tahun 2011. Itu pertama.
Yang kedua, ternyata proteksi atau larangan ekspor
bahan baku rotan ini tidak lah mendorong pertumbuhan industri mebel rotan yang
berpusat di Pulau Jawa. Malahan banyak yang sudah beralih menggunakan rotan
sintetik atau plastik. Kemudian, industri mebel rotan yang bertahan di Pulau
Jawa justru tidak henti-hentinya berteriak kesulitan bahan baku. Ini kan
anomali!
Larangan ekspor rotan tadinya diharapkan
menyebabkan berlimpahnya bahan baku rotan di dalam negeri, dan terus
bertumbuhnya industri mebel rotan. Kenyataannya justru sebaliknya dan mereka
yang bertahan sudah beralih menggunakan bahan sintetis. Penyelundupan pun
ternyata tidak pernah bisa dibasmi. Tujuan dari peraturan ini selama bertahun
tahun lalu sudah terlihat tidaklah efektif. Malah memunculkan anomali. Apa yang
diharapkan justru menjadi terbalik perwujudannya. Ini yang perlu dipahami
secara Bersama.
Ini yang disebut Menteri Teten bahwa kebijakannya
menjadi tempat pertempuran. Pertempuran antara yang menghendaki proteksi
padahal hanya mampu menyerap 10%, sementara sisanya yang 90% tetap
terselundupkan.
Wood News
ID: “Bisa dipertanyakan industri yang menghendaki pelarangan justru sebenarnya
menghendaki terjadinya penyelundupan itu?
Julius
Hoesan: “Bukan itu. Kami dengar selama 2 tahun terakhir Menteri Teten telah
berkeliling ke berbagai daerah penghasil rotan seperti Kalimantan. Beliau pasti
banyak mendapatkan masukan dan melihat fakta sehingga punya pandangan sesuai
dengan yang kami ketahui. Potensi produksi rotan sangatlah besar. Indonesia
dikenal sebagai penghasil bahan baku rotan terbesar di dunia, dalam kuantitas
maupun jumlah spesiesnya. Beliau juga pasti sudah mendapatkan banyak masukan
atau mengetahui pemakaian bahan baku rotan oleh industri mebel rotan dalam
negeri yang sangat terbatas. Terbatas dalam jumlah dan spesies yang digunakannya
sehingga dalam sambutannya pada Rakernas Asmindo Januari lalu mengusulkan
adanya ekspor rotan yang tidak terserap.
Itu posisi beliau saat ini namun dikatakan pula
usulannya sudah pasti ditentang oleh asosiasi industri yang berkepentingan.
Jadi sudah terbaca. Menteri Teten mengusulkannya langsung namun juga menyatakan
sudah pasti akan ditentang. Jadi jelas kepentingan diwakili asosiasi-asosiasi
industri itu.
Apa yan dikatakan Menteri Teten sudah bagus.
Menurut kami yang berkecimpung dalam industri rotan, beliau memahami situasinya
sehingga diusulkan yang tidak terserap untuk diekspor sekalipun ditentang oleh
asosiasi-asosiasi industri.
Semuanya kembali ke pemerintah. Bukan ditentukan
oleh pihak-pihak diluar pemerintah. Ini kan
kepentingan pemerintah. Yang mengeluarkan peraturan larangan juga pemerintah.
Pemerintah diwakili Menteri Teten mengusulkan untuk mengeskpor rotan yang tidak
terserap juga tergantung pemerintah. Ini sesusatu hal yang bagus karena sudah ada pejabat tinggi
pemerintah yang memahami situasinya.
Menurut saya sudah bagus karena sudah ada orang
pemerintah yang memperhatikan komoditas rotan ini. Sebelumnya tidak orang
pemerintah yang memikirkan kepentingan masyarakat di daerah penghasil rotan,
mulai dari petani pemanennya, pengepul, hingga industri pengolahannya. Saya
harus berterima kasih ke Menteri Teten karena sudah ada niatannya untuk
memperbaikinya.
WoodNews
ID: “itu kan tidak cukup untuk memperbaikinya?
Julius
Hoesan: “Saya ingin katakan pada mereka yang tidak setuju akan ekspor rotan yang
tidak terserap industri mebel dalam negeri, baik pengusaha atau pihak lain yang
berkepentingan maka perlu diberikan pemaham yang sama akan potensi besar rotan
alam Indonesia namun hanya sekian persen yang bisa terserap.
Permahaman pertama adalah nilai-nilai ekonomis yang
sangat besar itu mubazir. Kepentingan untuk memproteksi industri dalam negeri
telah menelantarkan kepentingan yang lebih besar lagi. Katakanlah dari 300-an
spesies rotan endemik di hutan-hutan Indonesia mungkin hanya sekitar 10%
diantaranya yang digunakan industri mebel di dalam negeri. Sisanya dibiarkan
tumbuh dalam hutan sehingga tidak lagi bernilai ekonomis. Ini akan merugikan
bangsa kita sendiri karena memilikinya, tapi membiarkannya tanpa
memanfaatkannya.
Kerugian kedua adalah masyarakat di sekitar hutan
hanya bisa melihat tanaman rotan. Mereka tahu akan nilai ekonomisnya namun itu
hanya berlaku di pasar luar negeri. Di pasar dalam negerinya sendiri dilarang
dimanfaatkan sehingga tidak bisa dipergunakan.
Kerugian ketiga adalah Permendag itu sudah berlaku
selama 12 tahun dan harapan pemerintah untuk bertumbuhnya industri mebel rotan
ternyata terbalik. Banyak pihak yang menjanjikan kepada pemeritah untuk
menyerap semua produksinya dan ternyata janji-janji ini tidaklah bisa dipenuhi.
Yang terjadi justru sebaliknya.
Pemahaman ini lah yang harus merata sehingga bisa
mengeliminir pertentangan yang terjadi sehingga harus diputuskan segera bahwa
barang yang tidak terserap haruslah dicarikan pasarnya. Permasalahannya
sederhana yaitu pemasarannya. Ini yang harus dibenahi segera. Dari sepuluh
pintu yang ada hanya satu pintu keluar yang diizinkan. Sembilan pintu tetap
ditutup padahal satu pintu sudah tak bisa digunakan sebagai exitnya. Itu
dulu yang harus dilakukan.
Seandainya terjadi ekspor rotan yang tidak terserap
maka bagaimana dampaknya terhadap industri rotan dalam negeri. Kami sudah
melakukan perhitungannya seperti pengaturan kembali yang pernah dilakukan
pemerintah pada tahun 2005. Diberlakukan instrumen kuota ekspor dengan
mendahulukan kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Kuota ekspor itu bukan
ditutup. Artinya industri dalan negeri jika mengalami kesulitan bahan baku maka
kuota ekspor itu bisa ditunda.
Jadi ada mekanisme wajib pasok dan kuota. Ada juga kuota
nasional yang mempertimbangkan kelestarian. Semua mekanisme ada sehingga
diharapkan bisa menjaga semua kebutuhan dan keseimbangan. Mekanisme semacam itu
yang bisa dipertimbangkan atau bisa dibicarakan tapi terlebih dahulu perlu ada
kesepahaman tentang dampak Permendag yang melarang ekspor total. Kira-kira itu
yang harus diperhatikan benar sebelum kita melangkah kesana.
Wood News
ID: “Jika tidak dipanen lantas bagaimana nasib rotannya?”
Julius
Hoesan: “Rotan yang sudah terlanjur ditebang dan tidak terserap pasar dalam
negeri, lama-kelamaan akan membusuk atau hancur dimakan serangga bubuk. Jika
rotan itu tidak dipanen maka tidak akan ada nilai ekonomisnya. Rotan akan
menua, kian panjang sulurnya dan dengan terlewatinya usia panennya maka akan
menurunkan mutunya.
Wood News
ID: “Jika tidak dipanen, jumlah rotan dihutan Indonesia bertambah banyak?”
Julius
Hoesan: “Selama 12 tahun berlakunya larangan, rotan yang tumbuh di hutan kian
banyak volumenya karena terus bertumbuh tanpa pernah dipanen. Kalaupun dipanen,
jumlahnya terbatas. Nilai ekonomis rotan sudah tidak besar karena larangan
ekspor. Pemerintah terutama Kementrian Kehutanan justru banyak membuat
peraturan tentang rotan dan yang menghambat kepentingan ekonomi petani
penghasilnya. Ijin pemungutan rotan selalu berubah dari waktu ke waktu, membuat
komoditi ini kian terpuruk. Ini menghambat pemungutan dan pengangkutan rotan
dari hutan ke industri setengah jadi, dan ke industri penggunanya. Ini juga
harus ditinjau Kembali.
Rotan alam tumbuh liar dan membawa manfaat bagi
masyarakat dan industri barang jadinya. Peraturan yang sering berubah
menghambat minat untuk memanen rotan. Menurut saya yang perlu dijaga adalah
bagaimana mengatur sehingga kelestariannya tetap terjaga. Kedua, pemerintah
akan tetap mendapatkan penghasilan dari Provisi Sumber Daya Hutan atau PSDH.
Biarkanlah masyarakat petani bebas memungut rotan dari hutan, sementara
pemerintah menjaga kelestariannya yang dikaitkan dengan perijinan pengusahaan
rotan dan diawasi pemenuhan kewajiban PSDH. Itu saja sudah sangat membantu
kehidupan masyarakat. (WNID/eM)
Komentar
Posting Komentar