Regulasi Produk Bebas Deforestasi Uni Eropa: Menguntungkan atau Merugikan?

Memasuki tahun 2023, industri furnitur dan kayu olahan Indonesia akan menghadapi tantangan yang kian menyulitkan terutama di pasar Uni Eropa. Pasalnya UE akan memberlakukan Undang-undang Komoditas Bebas Deforestasi. Peraturan yang diudangkan secara resmi pada 6 Desember 2022 menjamin produk-produk yang djual di kawasan ini tidak terkait dengan perusakan dan degradasi hutan. Minyak sawit, sapi, kedelai, kopi, kakao, kayu dan karet. Tentunya, dan seperti biasa, regulasi ini juga meluas dan diluaskan dengan mengenai produk-produk turunannya seperti daging sapi, mebel dan komponen dan kerajinan berbasiskan kayu, kertas, kulit dan coklat. Regulasi ini melarang komoditas dan produk-produk yang dimaksud jika diproduksi di lahan yang terdeforestasi setelah 23 Desember 2023.

Untuk bisa memasuki pasar UE, komoditas dan produk yang dimaksud maka diwajibkan untuk memiliki sertifikat verifikasi atau uji tuntas (due deligence) atas komoditas atau produk-produk yang berbasiskan geolokasi atau berdasarkan citra satelit dan koordinat sistem pemosisian global alias GPS. UE akan menerapkan pelacakan asal-usul komoditas dengan mengimplementasikan e-paspor produk digital.

Sertifikasi yang dimaksud jelas hanya dikeluarkan oleh Forest Stewardship Council alias FSC. Pemberlakuan kewajiban sertifikasi ini tentu dengan serta merta mengesampingkan dan menampik pengakuan atas Sertifikat Verifikasi Legal Kayu (SVLK) yang sudah diberlakukan secara nasional di Indonesia. Mengagetkan? Sangat tidak. Sejumlah pengusaha furnitur terutama yang bersakala besar dan sebagian menengah sudah lama mengantisipasinya.

Kepemilikan duo sertifikat ini sudah dilakukan sejak lama, bahkan sebelum SVLK dinyatakan sebagai mandatory oleh pemerintah. Kondisi ini tentu menimbulkan kebingungan bagi pelaku bisnis. Di satu sisi, tidak memiliki SVLK akan membuat barangnya tertahan di pelabuhan Indonesia. Sementara tidak memiliki FSC, produknya tidak akan bisa memasuki pasar UE.

Persoalannya adalah bagaimana dengan industri kecil dan menengah. Salah seorang pengurus Asmindo pernah menyebutkan angka yang tidak kecil untuk memperoleh sertikat FSC. “Hitungannya juga dalam Dollar,” jelasnya. Tentu ini akan memberatkan pelaku usaha mikro, kecil dan menengah. Jika proses memperoleh SVLK dibantu masih dibantu kementerian-kementerian terkait, maka untuk memperoleh FSC jelas diserahkan pada mekanisme pasar, dengan biaya yang ditentukan secara sepihak.

Staf Kerja sama Intrakawasan dan Antarkawasan Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri RI Emilia H Elisa, seperti yang dikutip Kompas, 8 Desember 2022, menyebutkan UE memberlakukan undang-undang itu bagi pelaku di kawasannya. Namun hal itu berdampak pada pelaku usaha bahkan produsen mikro, kecil dan menengah di Indonesia karena wajib memenuhi syarat pembeli asal UE. disini lah persoalan berkembang menjadi rumit. Apalagi UE hanya memberi waktu selama delapan belas bulan kepada para pelaku bisnis untuk memenuhi, terhitung sejak aturan ini diundangkan.

Persoalannya akan kian panjang karena untuk bisa memenuhinya, diperlukan tidak hanya pembenahan dan penyiapan administrasi. Butuh penyesuaian regulasi, sistem hingga teknis pelaksanaannya di lapangan.

Emilia, seperti yang dikutip Kompas, menyebutkan undang-undang ini tidak hanya mensyaratkan keberpihakan pada lingkungan hidup tapi meluas menyangkut pula hak asasi manusia dan masyarakat lokal atau adat. Undang-undang ini juga menetapkan tolok ukur (benchmarking) berdasarkan negara, bukan komoditas. Ada tiga kategori penolok ukuran yaitu negara dengan tingkat deforestasi rendah, standar atau sedang dan tinggi.

Mekanisme macam itu tidak saja meluas dan tak terdefinsi baku lagi. Sangat berpotensi untuk mendiskreditkan sebuah negara. Apalagi jika satu dari enam komoditas yang ditetapkan masih menyumbang deforestasi tinggi, “Maka negara tersebut tetap dikategorikan sebagai negaradengan tingkat deforestasi tinggi,” ujarnya.

Agak sulit, tepatnya sulit sekali untuk tidak melencengkan kategorisasi deforestasi dengan ukuran yang sangat lentur. “UE terlalu banyak mengeluarkan regulasi yang menuntut negara lain mengikutinya,” ujar Musdhalifah Machmud, Deputi Pangan dan Agribisnis Kementerian koordinator Bidang Perekonomian seperti yang dikutip Kompas. Pemerintah Indonesia secara resmi juga sudah melayangkan keberatan atas pemberlakuan undang-undang ini, namun sulit sekali untuk mengharapkan UE untuk berubah kecuali ada tekanan yang luar biasa karena perubahan situasi. Seperti yang terjadi pada produk minyak kelapa sawit yang akhirnya lolos boikot di sejumlah negara anggota UE saat memuncaknya krisis Ukraina-Rusia. Ketika keberlanjutan hidup masyarakatnya terancam, sejumlah negara anggota UE harus menempuh langkah yang lebih realistis.

Luasnya cakupan komoditas dan produk-produk turunannya sebenarnya memperlihatkan potensi konflik kepentingan dalam pelaksanaannya. Misalnya saja kayu sengon yang menjadi bahan dasar barecore yang mulai diminati pasar UE, justru lebih banyak dihasilkan dari lahan petani kecil di Pulau Jawa. Demikian juga dengan komoditas kopi berkualitas seperti yang ada di Garut, justru banyak dihasilkan dari kebun sempit petani kecil, bahkan berapa diantaranya peninggalan kolonial Hindia Belanda.

Dalam industri furnitur, yang dominan berlokasi di Jawa, kebanyakan bahan baku kayu justru berasal dari perkebunan milik petani kecil sementara sisanya berasal dari industri perkebunan milik pemerintah dan swasta. Kayu jati, mahoni, trembesi dan sengon bukanlah hasil tebangan hutan. Kayu trembesi dan sengon misalnya, ditanam sebagai investasi para petani kecil dan jumlahnya tidak mencapai belasan batang, sulit dituntut memenuhi persyaratan sertifkasi e-paspor kayu berdasarkan geolokasi. Kalau pun bisa sudah dipastikan kerugian yang dialami petani penanamnya akibat tingginya biaya pengurusan sertifikasi FSC.

Director Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) Agus Purnomo kepada Kompas, 9 Desember 2022, menyebutkan implementasi udang-undang produk bebas deforestasi akan merepotkan banyak pelaku usaha. Teknis pelaksanaannya masih belum detil, rumit dan akan berbiaya tinggi. Dengan gamblang ia menyebutkan bila UE sudah meninggalkan atau menutup pintu bagi Indonesia. “Dalam pelaksanaan RED II, biodiesel sawit asal Indonesia jelas ditutup”. Peluang yang terbuka adalah membuka pasar di luar UE, atau membiarkan situasi menjadi sangat tidak menguntungkan bagi kalangan pebisnis di Eropa sendiri akibat implementasinya. Namun menunggu hasil kontradiksi internal saja tidak lah cukup. Pemerintah RI harus bereaksi dan bergerak lebih cepat untuk mendobrak diskrimasi sekaligus menciptakan pasar diluar zona Eropa. (WNID/eM)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur: “Pasar akan mulai membaik”

EUDR: “Very badly written law”.

Terobosan HIMKI ke China untuk Meningkatkan Daya Saing Global