Lea Aziz: Riset merupakan bagian dari Desain

Desainer interior kondang Indonesia Lea Aziz merupakan salah satu anggota tim Basic Design istana dan kantor kepresidenan di Ibu Kota Negara baru, Nusantara. Pendiri dan pemilik Elenbee serta pengajar di sejumlah perguruan tinggi desain interior ini mengungkapkan panjang perjalanan merancang istana kepresidenan yang pertama kali dilakukan oleh anak bangsa. Ia dan tim perancang desain harus mengekstrak kekayaan budaya yang berasal dari ketiga puluh delapan propinsi yang ada saat ini. “Butuh riset yang sangat seksama selama satu setengah tahun lamanya,” ujarnya saat ditemui di kantornya di bilangan Cilandak, Jakarta Selatan.

Ekstraksi keragaman dan kekayaan budaya Indonesia ini disajikan dalam interior berkonsep  Nusantara hanya bisa dilakukan lewat riset, “Melalui riset itulah digali semua,” katanya. Ini sekaligus menampik tundingan yang menyebutkan proyek pembangunan ibukota baru sebagai proyek dadakan.  “Risetnya sudah dilakukan satu setengah tahun sebelumnya, dan itu hanya untuk interior karena interior itu sangatlah berperan,” tegasnya.

Tidak heran bila ia menyebutkan riset sebagai hal sangat penting, “Riset merupakan bagian dari desain,” tegasnya. Melalui riset itulah digali semua misal bagaimana terjadinya sebuah budaya dan seperti apa. “Ke depannya kita harus belajar menghargai riset, karena di luar negeri riset itu mahal sekali,” sambungnya. Ikuti bagian pertama dalam perbincangannya dengan redaksi WoodNewsID dibawah ini.

 

 

WoodNewsID: Sekarang sedang sibuk mengerjakan apa?

Lea Aziz: Lagi mengerjakan proyek istana kepresidenan dan kantor presiden di Ibu Kota Negara (IKN).

WoodNewsID: Itu sama dengan mengisi kertas kosong?

Lea Aziz: Ya tapi desain arsitekturalnya sudah ada.

WoodNewsID: Apa yang akan disuguhkan di sana?

Lea Aziz: Konsepnya Nusantara.

WoodNewsID: Bisa diberikan cluenya?

Lea Aziz: Diambil dari 38 propinsi yang ada. Istana itu kan tidak dibuat untuk puluhan tahun, tapi ratusan tahun ke depan. Jadi harus bisa bercerita. Ada story tellingnya. Ini membuat presiden siapapun untuk menceritakan kepada tamu-tamu negara yang datang nantinya.

WoodNewsID: Kalau dari sisi desainer sendiri bagaimana story tellingnya?

Lea Aziz: Budaya Indonesia. Story tellingnya dari budaya Indonesia, dengan materialnya pun yang ada di Indonesia. Bisa berupa kayu lokal dan marmer, sekalipun marmer Indonesia masih tergolong muda. Sehingga harus dikombinasikan dengan penggunaan marmer impor. Ini akan memudahkan maintanacenya nanti. Jadi fokusnya adalah material sehingga siapa pun presidennya bisa mengatakan pada tetamunya, apa yang dilihat oleh mereka disini adalah Indonesia. Sudah pasti tidak dibuat dengan kriwal-kriwel, tapi dibuat dengan bernuansakan classic modern tropical. Lebih ke ekletik.

Kami berusaha agar orang bisa melihat Indonesia dulu dan kini sebagai kesatuan. Yang lalu menjadi bagian dari kita, dan yang akan datang menjadi masa depan kita.

Budaya Indonesia kan sangat luas tapi yang penting adalah yang bermakna, makanya riset menjadi hal yang penting disini. Itu sangat penting buat kami misalnya fungsi pintu utama yang menandakan selamat datang, terus yang menandakan adanya kedamaian. Semua yang ada dalam budaya kita itu bermakna luar biasa. Itu yang kami masukan ke dalamnya.

WoodNewsID: Tadi disebutkan mengadakan riset untuk itu, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk bisa meliputi ke 38 propinsi?

Lea Aziz: Setahun lebih. Kebutulan kami termasuk dalam tim kementerian PUPR, sehingga riset yang dilakukan sudah mencapai 1,5 tahun. Banyak yang mungkin tidak paham soal ini, dan menyebutkan kok bisa yang dadakan. Padahal risetnya sudah dilakukan satu setengah tahun, hanya untuk interior

karena interior ini sangatlah berperan.

WoodNewsID: Ada yang dominan tidak?

Lea Aziz: Tidak karena kami harus membuatnya berimbang, sekalipun awalnya kami memprioritaskan pada unsur Kalimantannya. Anak-anak usia muda banyak yang tidak tahu soal itu karena selama ini lebih banyak tahu Jawa atau Bali. Mereka tidak tahu story tellingnya dari budaya Kalimantan. Kami utamakan itu dulu, dan untuk itu risetnya pun tidak main-main. Kami langsung ketemu dengan sumbernya langsung, sehingga paham jika ada ukiran tertentu yang tidak boleh diposisikan penempatannya di kamar mandi. Atau ukiran lainnya tidak boleh ditempatkan di ruang service. Jadi ada pakem-pakemnya dan butuh dipahami agar tidak salah dalam meletakannya. Akan menyedihkan jika kita melakukan sesuatu tanpa memahami maknanya.

Ini kan baru pertama kalinya Indonesia membangun istana. Semua istana yang ada di Indonesia ini desainernya orang asing. Inilah cikal bakal kita ini sekarang, profesi apapun bisa dihargai oleh bangsa kita sendiri. Jadi Indonesia sekarang, bisalah orang dari luar melihat kita punya kemampuan yang lebih daripada yang lain, dengan segala macam budayanya.

Kalau dulu-dulu anak kita memilih untuk berlibur ke luar negeri, dengan adaya pandemi ini kita berpeluang mengeskplorasi keragaman budaya kita. Itu salah satu yang positif dari pandemi. Pandemi juga mendatangkan kebaikan untuk bangsa kita. Dengan caranya Tuhan memberikan kita makna lebih baik untuk hidup.

WoodNewsID: Itu sebabnya selama 2 tahun sibuk dalam riset tadi. Lantas apakah ada kontribusi asing atau memang murni lokal semata?

Lea Aziz: Pasti ada. Di interior komposisi lokal dijaga mencapai 60%, sedang sisanya dari material atau bahan penolong impor. Namun secara makna nyaris tidak ada sebenarnya, misalnya digunakan seal impor. Disini kami juga tidak menceritakan pernah dijajah Belanda selama 350 tahun. Jadi ini Indonesia.

WoodNewsID: Identitas?

Lea Aziz: Identitas! Kita tidak lagi bicara bagaimana perang dan masa-masa perjuangan. Kita bicara ini Indonesia. Saya sebut sebagai Nusantara Indonesia

WoodNewsID: Itu menarik karena mengekstrak budaya dari 38 propinsi dan menempatkan secara berimbang dalam space yang sama? Itu bukan sesautu yang mudah?

Lea Aziz: Ya. Betul, betul. Makanya riset ini mengharuskan kami pergi ke semua daerah dan bertemu langsung dengan pakar-pakar budaya lokal. Juga menggali dari buku-buku yang harus dibeli semuanya. Sayangnya buku-buku itu justru ditulis oleh orang asing. Itu yang disayangkan. Jadi kita banyak belajar dari orang-orang asing.

WoodNewsID: Untuk materialnya apakah tetap diproses di workshop yang banyak terdapat di Jawa, baru setelah itu dikirimkan untuk instalasi disana?

Lea Aziz: Kalau proses masih akan dilakukan di Jawa. Kita bicara green atau low carbon emission namun setelah berjarak 2000 maka tidak lagi bicara green. Tidak soal karena kita bicara ke-Indonesiaan. Itu sebabnya kami gunakan berbagai spesies kayu yang ada seperti merbau dari Papua, atau kayu dari Sulawesi. Jadi story tellingnya akan menjelaskan bukan hanya budaya, namun hingga ke materialnya. Jadi disesuaikan lah.

WoodNewsID: Kesulitannya, banyak desainer yang tidak tahu karakter spesies kayu lokal sendiri?

Lea Aziz: Justru itu dan menarik sekali. Ini salah satu yang kami lakukan dalam persiapan konferensi G20 lalu. Seorang pakar yang mengklaim dirinya mengerti tentang material ternyata tidak. Sangat disayangkan. Material seperti kayu sangatlah penting sekali. Sifat kayu berbeda-beda. Misalnya, finishing duco hanya bisa dikenakan untuk kayu tertentu. Untuk yang mau diwash maka harus menggunakan spesies kayu lainnya. Tidak bisa sembarangan menggunakan spesies kayu. Jangan hanya melihat keindahannya tapi pahami bagaimana proses yang tepat untuknya. Sebagai desainer seharusnya mengetahui. Saat persiapan G20 saya melihat banyak rekan-rekan yang tidak paham akan material kayu yang akan digunakan.

WoodNewsID: Kesalahan itu bisa saja berulang di IKN?

Lea Aziz: Bisa. Kebetulan di tim Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, kami bersama Nyoman Nuarta mendesain Istana Kepresidenan di IKN. Beliau lah yang mendesain eksteriornya. Dengan tim kerja yang lengkap dan mumpuni sejak dulu maka tidak bisa dipandang sebelah mata. Dengan latar belakangnya sebagai orang Bali maka beliau selalu hidup dengan balance. Beliau mempelajari karakter setiap material yang digunakan seperti kayu. Ini memberikan pelajaran yang luar biasa bagi saya karena bergabung dalam tim basic designnya beliau. Ini bisa kejadian. Bersama-sama kami sampaikan siapa pun presidennya nanti maka basic design ini tidak boleh ditinggalkan. Siapa pun yang akan menjadi desainernya nanti, maka semua yang dicita-citakan bersama akan tetap terimplementasikan.

WoodNewsID: Ada urgensi penyesuaian antara desain dengan material? Karena jelas merbau tidak bisa diukir....

Lea Aziz: Ya karena keras.

WoodNewsID: Kalau ada penyesuaian di lapangan maka berapa besarnya?

Lea Aziz: Penyeseuaiannya bisa mencapai 80%. lumayan. Itu sebabnya kami tidak bisa bermain-main dengannya. Kementerian PUPR diwanti-wanti oleh Nyoman Nuarta agar tidak terjadi kesalahan implementasi oleh kontraktor pemenangnya dikemudian hari. Kami mendesain namun terjadi peruaban di tangan kontraktor pemenangnya. Itu bahaya sekali. Kami melihat desain melekat dengan material yang akan digunakan.

WoodNewsID: Apakah dampak dari penggunaan penyejuk ruangan, cuaca yang ekstrim di Kalimantan terhadap material yang ditampilkan disana? Bisa jadi menyebabkan crack setelah sekian lama dipasang?

Lea Aziz: Bagusnya didalam tim PUPR ini ada pakar kayu dan pakar-pakar di bidang lainnya yang terkait. Kita lihat cuaca di Kalimantan cukup ekstrim. Kalau panas, sangat panas. Seolah mataharinya menjadi berjumlah sepuluh. Namun jika dingin maka luar biasa dingin. Ini yang disiasati dari awal. Kayu apa yang cocok untuk didalam gedung, dan punya makna juga agar bisa memberikan keseimbangan enerji. Karena kayu punya karkater dan nyawa juga. Itu harus diperhatikan benar, dan disini kami banyak belajar bagaimana bisa menyatukan semua material yang ada di Indonesia agar bisa menjadikannya lebih indah demi istana yang dicita-citakan.  

WoodNewsID: Jadi memadukan unsur artistik dan fungsinya? Persoalannya kan setelah sekian tahun maka bisa saja material kayu yang digunakan kembang susut diluar dugaan awal...

Lea Aziz: Ya tapi yang penting adalah maintenace. Semua harus dimaintan sejak awal termasuk susut kembangnya kayu yang digunakan. Sejak awal tim desain sudah mengingatkan istana IKN merupakan milik bangsa dan menjadi bingkai bagi bangsa kita sendiri dalam menghargainya. Karena bangsa kita ini agak sulit untuk menghargai sesuatu. Yang terpenting adalah tumbuhnya kebanggan dalam memiliki sebuah istana yang bisa menyatukan bangsa ini. Dibangun dengan material lokal dan memiliki makna budaya Indonesia, yang kami sebut Nusantara. Disampaikan juga marmer Indonesia merupakan marmer muda. Tidak mungkin satu gunung dipotong untuk menghasilkan marmer yang dibutuhkan. Kedua mmpertimbangkan maintenace yang cukup rumit. Ini membuat kami mengkombinasikan marmer impor dengan marmer lokal. Biarkan gunung mereka yang dipotong, jangan gunung kita. Ini salah satu pertimbangan ekologisnya agar tidak terjadi abrasi dan tanah longsor yang akan membuat repot pemerintah kita nanti. Sebenarnya, janganlah merusak bumi kita.

WoodNewsID: Itu disetujui?

Lea Aziz: Ya. Kita kan bicarakan timeless. Kalau bicara TKDN pun tidak harus semuanya domestik jika produk itu tidak bisa diperoleh secara lokal. Yang penting persentasenya terpenuhi. Total 40% dari keseluruhan bagunan itu sendiri.

WoodNewsID: Apakah hanya kayu solid yang digunakan?

Lea Aziz: Kami gunakan kayu solid, kayu engineering bahkan veneer. Kami tidak mau merusak alam dan veneer sudah jamak digunakan. Kami juga sudah bekerja sama dengan pakarnya di sini. Kami sudah mengirimkan sampelnya untuk digunakan dalam proyek itu. Kayu lapis yang berasal dari material kayu lokal namun dipilih yang berkualitas premium. Ini dilapisi veneer sehingga jika dilihat tetamu negara maka akan diketahui kalau itu kayu Indonesia. Kayu-kayu yang harganya sangat mahal justru bisa dilihat di sana. Kami gunakan eboni karena berkelas dan agar orang asing tahu kayu ini asal Indonesia.

WoodNewsID: Kalau persoalan hardware?

Lea Aziz: Fitting terpaksa digunakan produk impor karena tidak ada produsennya disini. Tidak tahu kenapa di sini tidak ada pabrik yang memproduksinya, padahal jika dilihat peluang pasarnya teramat besar. Populasi manusia Indonesia yang hendak membeli rumah cukup besar. Mereka akan menggunakan furnitur yang dilengkapi fitting. Sampai sekarang hanya ada produsen fitting kecil yang ada dengan kualitas tidak prima. Fitting bengkelan. Itu yang disayangkan padahal TKDN itu harus 40% dari keseluruhannya. Minimum ya.

Dalam proyek IKN, semaksimal mungkin menggunakan produk dan material asli Indonesia. Itu pesan Presiden Joko Widodo.

WoodNewsID: Selain proyek IKN, ada proyek lain yang tahun 2022 cukup dominan dalam pengerjaannya?

Lea Aziz: Kami mengerjakan beautifikasi airport internasional Bali. Kami juga mengerjakan hal serupa di sektor untuk jet pribadi. Ini berkait dengan G20. Kita tahu G20 itu diadakan 4 tahun sekali tapi kan biasanya orang Indonesia selalu mengerjakannya kalau sudah mepet waktunya. Sangat menarik karena masih bisa sukses dengan prestasi yang luar biasa, bukan hanya desain tapi secara keseluruhannya diakui oleh dunia. Sebenarnya merupakan tantangan dan mendapat apresiasi dari pihak luar.

WoodNewsID: Bisa dijelaskan tujuan beautifikasi itu?

Lea Aziz: Airport kita terakhir direnov tahun 2013 ketika berlangsung APEC. Cukup lama tenggang waktunya dan ada kebutuhan mendesak. Kami hanya mengadakan beautifikasi di area kedatangan internasional. Kami berkolaborasi dengan sejumlah tim desainer yang paham soal artwork dan dekorasi. Kami bisa menampilkan sesuatu yang menunjukkan Indonesia.

WoodNewsID: Mungkin yang dominan adalah unsur Balinya?

Lea Aziz: Ya. Di sana ada regulasi yang mengharuskan penonjolan budaya Bali. Kami bisa tampilkan perpaduan antara budaya lokal yang klasik dengan yang modern, agar lebih mudah dterima generasi milenial. Itu berhasil walaupun sedikit missed. Misalnya ditampilkan barong kuno, dan semua orang berfoto dengan latar belakang itu. Jutsru bukan yang modern. Itu sebuah pelajaran bahwa budaya klasik justru dikenal generasi itu dan menjadi magnet bagi mereka. Mereka ingin menunjukkan bahwa kehadirannya di Bali diketahui orang lain. Ciri khas dan identitas Bali yang sebenarnya sangat klasik justru yang ingin dilihat orang. Saya perhatikan selama berapa jam dan berapa hari, sekalipun sudah ada story tellingnya tetap yang menjadi perhatian adalah yang klasik. Saya belajar bahwa perjalanan budaya Indonesia sangat luar biasa. Jangan selalu berpikir bahwa milienial tidak mengenalnya. Ini mirip lagu-lagu lawas Chrisye dan Fransk Sinatra yang popler di jaman kita muda, dipopulerkan lagi kalangan ini. Juga barang-barang vintage juga sedang booming lagi. Lihat juga boomingnya Vespa dan kembalinya desain-desain vintage saat ini.

Perjalanan dari sebuah desain itu bisa terasa sekali hanya dalam berapa tahun ini, terutama setelah pandemik. G20 tanpa disadari adalah risetnya kami.

WoodNewsID: Berapa penting sebuah riset bagi desain?

Lea Aziz: Penting banget, penting banget. Seperti yang tadi sudah disampaikan bahwa kita harus paham karakter kayu yang akan digunakan. Kedua, bagaimana kita tahu story tellingnya. Nantinya kita bisa buat desain yang semuanya mau bercerita sendiri. Ramai. Ketiga, saat dibangku sekolah kan banyak yang tidak mengerti tentang budaya Indonesia. Melalui riset itulah digali semua. Misalnya bagaimana terjadinya sebuah budaya di sini seperti apa. Nah kita dalami. Penting itu. Ini kadang dilupakan.

Kalau di luar negeri, mau bikini airport butuh riset 2-3 tahun sebelumnya. Kalau disini kan mau bikin airport baru riset buru-buru, bahkan tidak sama sekali. Akhir jadi airport seperti yang sudah ada, dua tahun harus sudah selesai. Ini yang disayangkan. Ke depannya kita harus belajar menghargai riset, karena di luar negeri riset itu mahal sekali.

Misalkan candi Prambanan atau Borobudur lah, karena tidak ada riset maka pagarnya menggunakan besi. Padahal tidak ada kesesuaiannya. Hal semacam ini memperlihatkan riset merupakan bagian dari desain. Alasannya candi butuh dilindungi dengan menggunakan pagar maka diputuskan pagar besi. Padahal seharusnya kan bisa menggunakan tanaman atau materi lain yang berkesesuaian dengan lingkungannya. Ini membuat candi menyatu dengan sekelilingnya. Ini membuat riset sangat dibutuhkan. Dengan banyak anak-anak milenial masuk ke jajaran pemerintahan dan Badan Usaha Milik Negara, saya anjurkan untuk mengadakan riset sebelum mengambil keputusan. Tidak bisa hanya melihat Pinterest lantas memutuskan ‘bagusnya pakai ini’. Setiap tempat memiliki soul, budaya dan perilaku yang berbeda.

Kalau dilihat jika saya ingin membuat sesuatu di Medan dan di Bali maka haruslah berbeda. Kan tidak bisa membawa Bali ke Medan atau sebaliknya. Itu penting banget.

WoodNewsID: Apakah cross cultural marketing merupakan sesuatu yang tepat untuk saat ini?

Lea Aziz: Sangat penting. Saya berharap dengan banyakya sekolah desain di Indonesia saat ini, yang semula hanya dua di jaman kita muda yaitu ITB dan Trisakti; sekarang sudah ada 34 sekolah interior. Tapi, ada tapinya, 90% ada di Jawa.

WoodNewsID: Masih tetap dominasi budaya Jawa?

Lea Aziz: Itu pentingnya pembelajaran yang sudah kita bahas tadi. Mengeksploitasi budaya sekalipun dengan 90% sekolahnya berada di Jawa. Kalau saya pergi ke sekolah yang berlokasi di Jawa, dan mahasiswanya tidak paham akan keadaan disana maka saya merasa ada yang hilang. Seharusnya sekolah sudah membawa mahasiswanya karena generasi kini sangat visual melalu studi tur. Disana diceritakan, dan mereka harus menceritakan ulang apa yang dilihatnya. Mereka harus belajar dari awal seperti itu. Mereka banyak melihat dari sebuah aplikasi. Jika sebuah desain dari Sabang hingga Merauke, kita tutupi tanpa disebutkan namanya maka jawaban mereka akan sama semua. Itu konsekuensi dari ketidak pembelajaran akan semua yang sudah kita bahas tadi. (WNID)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur: “Pasar akan mulai membaik”

EUDR: “Very badly written law”.

Terobosan HIMKI ke China untuk Meningkatkan Daya Saing Global