Juno Home: Tidak bisa meninggalkan Rotan

Tahun 2021, Willy Wonoto (70 tahun) mengumumkan akan menutup sebagian aktivitas pabriknya yang berlokasi di kawasan Kapuk. Keputusan yang diambil oleh salah satu pioneer manufaktur sekaligus eksportir furnitur berbasiskan rotan sangat mengejutkan. Bagaimana tidak? Perusahaan yang berdiri sejak awal tahun 1980-an harus menghadapi kenyataan pahit. Keputusan untuk menghentikan (sebagian, Red.) kegiatan produksi itu berujung dengan dihentikannya kegiatan ekspor yang sudah dimulai sejak dekade 1980-an. “We hope tomorrow will be better, but it never come,” ujarnya saat itu. Kini, bisnisnya lebih mengadalkan ujung tombak pemasaran dalam negeri, Juno Home yang terletak di Kemang Raya 78A, Jakarta Selatan.

Melalui Juno Home, Willy mulai merestart kembali bisnisnya. Ia menyebut melakukan rebranding dengan mengganti brand lama CV Jaya menjadi Juno Home. “Kelihatannya cukup catchy,” ujarnya.  “JIka kondisi membaik, perlahan kami akan mengeskpor kembali,” lanjutnya. Menurutnya, Indonesia adalah rotan namun potensi itu diabaikan oleh banyak pihak.

Kecintaannya akan rotan dan material alami seperti bambu membuatnya tidak bisa berhenti atau dihentikan situasi. “Saya termasuk yang bandel untuk bertahan. Kalau kami ikut bermain plastik maka kemungkinan akan membuang sebagian besar rotan alam. Itu kenyataannya. Kami berusaha mempertahankannya namun hasil usahanya tidak cakep”. Namun itu tidak cukup bisa menghentikan kecintaannya akan rotan, “Identitas Juno Home dan CV Jaya adalah rotan”.



WoodNewsID:
“Bagaimana situasi bisnis saat ini?”

Willy Wonoto: “Sekarang kami mulai lagi dengan perusahaan baru. Restart dengan fokus menggarap pasar lokal. Pelan-pelan jika situasinya membaik maka ekspor akan dimulai lagi. Butuh belajar kembali karena situasi pasar lokal Jakarta sudah banyak berubah. Kalau dulu pembanding kami kan dari industri serupa yang berada di Cirebon, Semarang, Solo dan Surabaya. UMR jakarta sekarang sudah dikisaran 4 bahkan hampir 5 juta. Kalikan saja 13 dulu, baru masukan perhitungan BPJS tenaga kerja dan kesehatan. Totalnya kan pada kisaran 5,7 hingga 5,8 juta Rupiah perorangnya. Sementara di luar Jakarta sana, UMR rerata masih dibawah 3 jutaan, padahal di sini kisaran 4,6 hingga 4,7 Juta Rupiah. Wuihh tewas. Ya sudah lah kami mencoba untuk restart”.

WoodNewsID: “Artinya untuk saat ini berfokus di lokal?”

Willy Wonoto: “Ya. Di lokal dulu. Sekarang ada juga satu dua buyer yang direct belanja ke showroom. Kami bilang restart seperti tahun 1981 ketika memulai membangun penjualan di pasar lokal dengan orang tua saya. Belakangan, tahun 1986 mulai ekspor. Startnya sekarang kami ulangi lagi. Restart pelan-pelan asalkan survive dulu”.

WoodNewsID: “Koleksi mana saja yang dikeluarkan baru-baru ini?”

Willy Wonoto: “Kami tetap mengeluarkan produk baru. Produk furnitur berbasis rotan akan tetap dipertahankan, namun kmai saat ini sedang mencoba memasarkan juga yang berbasiskan bambu. Sayang sekali kalau ini tidak dimanfaatkan”.

WoodNewsID: “Waktu di pabrik, kan sempat memperlihatkan produk berbasiskan bambu?”

Willy Wonoto: “Ya, terhenti karena dimata orang lokal bambu dianggap sebagai bahan murahan padahal di tangan kami tidak murahan tapi sesuatu yang proper. Ini ada contoh furnitur berbahan bambu (sambil menunjuk pada furnitur yang dimaksud. Red.) ini semuanya variasi penggunaan bambu, hanya saja lokal tidak bisa menerimanya karena mengharapkan berharga murah. Kami tidak bisa memberikan yang murah karena kualitas bahan baku dan proses produksinya juga tidak murah. Kain joknya pun bukan yang murah. Imej mereka, furnitur bambu itu seperti yang dipikul penjualnya berkeliling kota.Produk kotak ini juga variasi dari bambu, bukan sesuatu yang spesial tapi cukup manis produknya. Terkecuali yang aksesories, produk lainnya adalah buatan kami sendiri.

Ke buyer asing, kami bilang bahwa bisnis kami tutup namun merea tetap mencari. Saya tidak tahu apakah mereka bisa menemukan penggantinya. Ke depan nanti, jika kondisi membaik dan kami sudah siap beproduksi untuk itu maka ada kemungkinan untuk mengekspornya lagi. Di Juno Home ini, kecuali aksesories, semuanya produksi kami sendiri”.

WoodNewsID: “Kalau desain?”

Willy Wonoto: “Saya sudah serahkan ke anak-anak untuk menanganinya”.

WoodNewsID: “Ini yang ajiro dari Kalimantan Selatan?”

Willy Wonoto: “Bukan. Yang ini ajiro (sambil menunjuk. Red.)”

WoodNewsID: “Kalau lihat dari produk yang didisplay di Juno Home maka rotan masih berpotensi?”

Willy Wonoto: “Sebenarnya penggemar rotan masih ada. Namun sekarang yang benar-benar push rotan alami nyaris tidak ada. Kami di industri ini kebingungan karena jarang sekali desainer muda yang tahu akan rotan. Mereka tahunya rotan plastik. Saya bilang tidak ada didunia ini yang namanya rotan plastik. Itu adalah plastik. Rotan adalah rotan, plastik adalah plastik. Jangan sampai plastik disebut-sebut sebagai rotan plastik, karena itu menyesatkan para desainer. Ketidak pahaman ini sering dijumpai dan ada seorang desainer muda ada yang pernah klaim ke saya kalau produknya menggunakan rotan plastik. Tidak ada itu rotan plastik! Duh sampai capek saya mengajarkannya. Kebanyakan rotan yang kami gunakan dari spesies manau”.

WoodNewsID: “Kalau yang ditanam dibelakang itu manau juga?”

Willy Wonoto: “Manau dan sega. Ini stool yang kami buat dari sayatan rotan manau. Framenya dari besi (sambil menduduki kursi yang dimaksud. Red.)”.

WoodNewsID: “Ini yang berbahan rotan ajiro?”

Willy Wonoto: “Ya. Volum penggunaan ajiro lumayan banyak, kami berharap bisa membantu teman-teman pengrajin di Kalimantan Selatan”.

WoodNewsID: “Kalau yang itu kursi mawar?”

Willy Wonoto: “Bukan. Itu banyak disebut Emanuele atau Peacock. Ada dua nama sih. Desain ini klasik karena bertahan ratusan lama dan termasuk forever. Bahkan ada bahasan khusus tentang produk itu tapi saya lupa dimana itu.

Kalau dilihat maka kami berusaha keras untuk push rotan karena benar-benar Indonesia adalah rotan. Dan masih cukup banyak produk yang menggunakan rotan atau memiliki variasi rotan di sini. Kalau frame besar bisa dipastikan kami gunakan manau, dan itu sejak awal berdirinya usaha ini”.

WoodNewsID: “Produk baru masih terus ya?”

Willy Wonoto: “Masih. Tidak bisa berhenti. Tambah sini, kurangi sana. Rubah sana, rubah sini. Itu tetap dilakukan. Kalau berhenti, kami tidak bisa berjualan”.

WoodNewsID: “Kalau pasar lokal, kira-kira akan masuk ke Proyek Ibu Kota Negara tidak?”

Willy Wonoto: “IKN? Barang kami tidak akan masuk ke sana karena aturannya terlalu banyak untuk bisa kesana. Saya lebih berharap Badan Usaha Milik negara kalau memang benar mau membantu perusahaan lokal macam kami. Satu perintah saja, you harus beli lokal. Tidak boleh beli dari impor. Katakanlah yang diimpor dari Tiongkok itu tidak boleh lah, produksi furnitur lokal semuanya ada kok. Tinggal cari, cuma mau atau tidak. Lurus atau tidak. Sayang sekali”.

“Kalau BUMN diwajibkan untuk membeli produk dari produsen lokal maka kami tidak perlu lagi ekspor. Market lokal ini besar sekali tapi sudah jadi kebiasaan mereka untuk membeli dari perusahaan impor yang besar-besar itu. Kalau butuh yang frame dari besi juga ada. Kayu dan rotan sudah tidak perlu dipertanyakan. Kalau butuh kursi kantor memang ada perbedaanya. Di sana sekali produksi jumlahnya mencapai seratus duaratus ribu. Disini kan hanya seratus sampai 200 unit. Perbedaan volum inilah yang menentukan harga jualnya”.

“Sekarang ada sih sudah jawaban dari pemerintah agar kami harus mendaftarkan ke ini dan itu guna bisa ikut dalam proyek pemerintah. Saya tidak paham karena ilmunya belum sampai ke sana. Jadi tidak bisa komen sama sekali”.

WoodNewsID: “Jadi masih harus mengupayakan pemasaran di negeri sendiri?”

Willy Wonoto: “Ya dan tidak mudah. Masih menggunakan strategi pemasaran lama, lewat buyer atau teman-teman promosinya. Ini kursi kantor yang terbuat dari laminasi bambu. Kami sudah banyak memproduksi dan menjual variannya selama ini. Sayangnya tidak pernah ada dukungan dari pemerintah, kami memutuskan untuk menjualnya secara mandiri. Tidak usaha dukung kami, dukung teman-teman produsen lainnya saja juga tidak pernah terjadi. Sayang sekali”.

“Andaikata BUMN mamu memberikan dukungan dengan membelinya, maka perusahaan swasta nasional yang skala besar akan mengikuti jejaknya. Kalau itu terjadi maka kita tidak lagi perlu bicara ekspor, fokus saja untuk memenuhi kebutuhan lokal sudah cukup. Ini akan berdampak mengurangi keran impor. Untuk itu perlu diatur lagi bagaimana sistemnya yang memungkin itu terjadi. Pesannya cuma satu, jangan pernah beli barang impor terkecuali memang tidak ada disini”.

WoodNewsID: “Dampaknya besar?”

Willy Wonoto: “Bukan dampak lagi tapi sudahlah jangan bicara yang muluk-muluk toh kita sudah terbiasa menghadapi masa-masa sulit seperti pandemi kemarin. Ini contoh kursi kantor dari rotan lagi. Sayang tidak ada yang suka. Bukan tidak suka tapi pengadaan barangnya tidak paham sama sekali. Padahal kursi rotan campuran rotan dan frame kayu merupakan khas Indonesia. Coba kalau BUMN mau menggunakannya, begitu tamu asingnya datang pasti sudah tahu kalau itu produksi Indonesia. Barangkali keren ya jika kursi-kursi kantor BUMN terbuat dari rotan. Penampilannya beda lah daripada sofa bungkus.

WoodNewsID: “Jadi kuncinya di desain?”

Willy Wonoto: ”Desain memang membedakan. Desain lama dirubah dan dikawinkan dengan ide-ide baru. Improvement. Sebenarnya outlet ini sudah ada sejak tahun 1981, kami hanya rebranding dengan menggunakan Juno Home. Kalau perusahaan lama, CV Jaya terlalu umum. Juno Home lumayan catchy. CV Jaya terikat dengan rotan, sedang Juno Home lebih luas. Material yang digunakan kayu, bambu, besi, sedikit plastik karena dasarnya kami kerja rotan. Juno Home ini sudah berjalan delapan tahun. CV Jaya masih hidup sebagai produsennya.

WoodNewsID: Dulu pelanggannya banyak eskpatriat yang tinggal di kawasan ini?

Willy Wonoto: “Dulu kami mengandalkan expatriat sebagai pelanggan namun itu berlangsung sampai tahun 1998. Lepas itu expatriat kebanyakan memilih tinggal di apartemen yang full furnishing. Jama itu sudah lewat namun kini beralih ke konsumen lokal yang melengkapi kediamannya dengan perabotan rotan dari kami. Banyak juga jumlahnya. Tidak hanya dari Kemang dan sekitarnya. Ada juga yang datang dari luar daerah seperti Bandung dan Surabaya. Mereka mengetahui dari promosi mulut ke mulut atau dari katalog”.

WoodNewsID: “Ada prospek untuk buka outlet di luar kota?”

Willy Wonoto: “Kami sudah mencoba di Bandung namun tidak berhasil. Mungkin sekali sistemnya yang menjadi kendala. Saya tidak tahu pastinya namun sebelum atau saat pandemi outlet itu sudah ditutup. Kami sedang mempersiapkan outlet di Pantai Indah Kapuk. Kemungkinan akan beroperasi pada Maret 2023. Kalau tidak salah di Design District Indonesia. Luasnya sekitar 300 atau 400 Meter Persegi. Anak-anak yang mengelolanya tapi pesan saya harus ada rotannya. Tetap tidak boleh meninggalkan rotan karena identitas Juno Home dan CV Jaya adalah rotan.

Kami boleh klaim one of the best dalam rotan. Orang-orang tua yang tahu tentang rotan sudah pasti tahu kami. Tahun 1984, Hilton Residence menggunakan furnitur rotan buatan kami. Kemungkinan bertahan pemakaiannya hingga saat ini. Juga Hyatt Aryadutta menggunakan pada tahun 1982, namun kini sudah digantikan. Juga Hilton dan patra Bali. Produk kami digunakan selama 20 tahun tanpa ada komplain kerusakan. Bangga juga.

Kalau konsumen beli furnitur rotan yang asal-asalan maka dalam hitungan bulanan sudah rusak. Dan itu memunculkan imej rotan sebagai produk murahan. Kalau kita kembalikan maka perusahan besar yang mengimpor tidak peduli, kalau saya peduli karena rotan ada dalam darah daging saya. Makanya nanti di PIK harus ada rotan seperti kursi dibelakang ini (seraya menunjuk. Red.), kemungkinan itu yang akan didisplay disana”.

WoodNewsID: “Kalau dilihat dalam pameran Ifex lalu keliatannya ada prospek untuk kembalinya rotan?”

Willy Wonoto:“Harusnya sih masih ada penggemarnya cuma beda jaman saja. Harusnya sih ada peran desainer yang mendalami soal rotan. Jumlah mereka tidaklah banyak. Butuh pengenalan lebih luas. Sorry kalau saya salah ya. Ketidak pahaman ini yang menimbulkan istilah rotan plastik itu lah yang menyedihkan. Ini menggiring konsumen ke kesalah pemahaman. Mereka bilang sudah palai produk rotan plastik. Saya bilang salah, tidak ada rotan plastik. Itu plastik!

Itu sebabnya saya berupaya mempush para pengajar untuk mengenalkan rotan alam ke mahasiswanya. Mungkin bisa disebut rotan sintetis tapi jangan menyebutnya sebagai rotan plastik karena akan merusak imej rotan alam. Saya termasuk yang bandel untuk bertahan. Kalau kami ikut bermain plastik maka kemungkinan akan membuang sebagian besar rotan alam. Itu kenyataannya. Kami berusaha mempertahankannya namun hasil usahanya tidak cakep”.

WoodNewsID: “Ada yang mengatakan jika plastik tahan cuaca dan cocok untuk penggunaan luar ruang?”

Willy Wonoto: “Itu pasti”.

WoodNewsID: “Tapi kan plastik juga mudah terurai dengan terik matahari dan suhu luar ruang?”

Willy Wonoto: “Tergantung pembuatannya. Kami sendiri sering melalukan perbaikan terhadap plastik yang sudah terurai. Yang celaka adalah penggunaan furnitur plastik ini tidak hanya di outdoor, tapi juga di indoor. Itu yang menyedihkan, bahkan hingga anyaman yang dijejali dengan penggunaan plastik. Itu yang bikin kami sedih”.

WoodNewsID: “Petinggi American Hardwood Export Council atau AHEC selalu mengkampanyekan, kayu itu hangat. Kkita tidak pernah mengkampanyekan keunggulan rotan alam?”

Willy Wonoto: “Ya. Sebagai pemain material alami saya merasakan kehangatannya.”

WoodNewsID: ”Perlu tidak kita mengkampanyekan natural rattan is warm?”

Willy Wonoto: “Mungkin para desainer bisa melakukannya. Selain desainer, saya memimpikan peran pemerintah seperti tadi saya katakan. Kalau BUMN diharuskan menggunakan produksi lokal, maka persoalannya akan terjawab”.

WoodNewsID: “Tapi berharap itu seperti mimpi?”.

Willy Wonoto: “Boleh lah untuk berharap. Mimpi saya apakah bisa melihat itu terwujud”. (WNID/eM) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur: “Pasar akan mulai membaik”

EUDR: “Very badly written law”.

Terobosan HIMKI ke China untuk Meningkatkan Daya Saing Global