Ir. Rudy T. Luwia: “Getting worse tapi bukan tanpa peluang”

President Director PT Philnesia International yang juga menjabat Penasehat DPP Asmindo, Ir. Rudy Temasoa Luwia memperkirakan tidak akan adanya kenaikan di tahun depan. “Kondisinya akan getting worse. Negara-negara maju yang menjadi traditional market lagi suffering karena sedang struggle menghadapi lonjakan inflasinya,” katanya saat diwawancarai WoodNewsID di kantornya. Ia mengingatkan kondisi global itu bukan tanpa peluang sama sekali. Ia memperkirakan peluang terbatas masih ada di sektor project dan hospitality, baik di luar maupun di dalam negeri. Ia juga mengutarakan pasar domestik Indonesia masih sangat berpelunag untuk digali, terutama di sektor pemerintahan. Namun ia mengingatkan masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan agar industri nasional bisa berpartisipasi lebih besar lagi. Lantas ia mencontohkan TKDN yang dianggap bisa megurangi daya saing industri dalam negeri. Ikuti kutipan perbincangannya di bawah ini.    

 


WoodNewsID: Bagaimana bisnis di tahun ini? Tahun 2021 lalu konon banyak yang menyebutnya sangat bagus.

Ir. Rudy T Luwia: Kalau melihat kondisi pasar global dengan multi permasalahannya maka pangsa pasar industri ini mengecil pastinya, namun Indonesia malah diuntungkan. Kenapa? Karena terjadi shifting, terutama dari China sebagai produsen global ke berbagai negara lain seperti Indonesia. Buyer mencari produk-produk ke banyak negara selain China. Sekarang tergantung seberapa pandai industri furnitur di sini bisa menangkap peluang itu.

In general, sejak krisis kesehatan, pandemik, industri furnitur kita mengalami peningkatan. Tahun 2019 mulai naik sekian persen. Lanjut kenaikannya di tahun 2020, dan 2021. Baru pada tahun 2022 mulai terasakan pelambatannya. Ini kondisinya. Tidak semua industri mengalami kenaikan, ada juga yang mengalami penurunan namun in general terasa kenaikannya baik di kerajinan dan permebelan. Yang dikuatirkan adalah what next? Karena sudah mulai ada tanda-tanda perlambatan dalam enam bulan terakhir di 2022 ini. Cancellation mungkin ada, tapi postpone sudah terjadi. Banyak teman-teman industri yang mengalaminya tapi kondisi ini berlaku global. Tidak hanya di Indonesia.

Dalam waktu tiga bulan ini sudah terasa pelambatannya, dan tahun depan kita dihadapkan pada resesi global. Padahal angka pertumbuhan ekonomi Indonesia di kwartal ketiga cukup mengesankan.

WoodNewsID: Lantas apa yang terjadi?

Ir. Rudy T Luwia: Saya pikir problemnya multi tapi in general terutama di Eropa. Tahun lalu saja ketika kita meningkat, Eropa sudah turun terutama sejak krisis geopolitik Rusia-Ukraina. Saat Eropa terdampak, Amerika Serikat masih belum terdampak. Ini membuat kami segera switch. Untuk teman-teman yang suplainya dominan ke Eropa, mengalami kepusingan sejak tahun lalu dibanding dengan mereka yang suplainya dominan ke Amerika. Kalau posisinya balace masih bisa berlega hati hingga kini. Pertanyaannya kan apakah ini akan terjadi begini terus? Saya kira harus diantisipasi lebih hati-hati karena situasi globalnya demikian. Jadi harus mengantisipasi sejak dini, urusan apakan itu akan terjadi atau tidak maka itu urusan selanjutnya.

WoodNewsID: Kalau dilihat Amerika Serikat masih tidak terdampak sekalipun terjadi peningkatan inflasi dan suku bunga, maka pertanyaannya adalah apakah ini krisis Eropa atau memang global?

Ir. Rudy T Luwia: Menurut saya, yang terjadi global problem ini sudah terjadi dimana-mana. Bagaimana melihatnya? Simpel saja. Inflasi meningkat dimana-mana. Biasanya cara mujarab untuk mengatasinya dengan menaikan suku bunga, tapi itu tidak terjadi. Masih saja inflasi terus bergerak naik. Itulah multi problem makanya banyak yang kuatir apa yang akan terjadi di tahun depan, entah di Amerika atau di Eropa.

Ini terjadi di hampir semua negara, termasuk Indonesia. Inflasi naik tapi masih terkontrol dengan baik. Fiskal juga masih bisa dikontrol, keamanan pangan juga terkontrol. Juga dengan energi. Indonesia sampai hari ini masih jauh lebih baik. Tinggal kita lihat di negara atau kawasan mana yang kenaikan inflasinya cukup tinggi. Saat ini jelas terlihat kalau kondisi ini justru banyak terjadi di negara-negara maju yang berperan besar dalam perekonomian dunia. Kalau mau dicontohkan inflasi tinggi akan mendongkrak kenaikan suku bunga. Dampaknya bunga kredit pemilikan rumah juga meningkat, akibatnya konsumen akan kesulitan dalam membayar cicilan rumah. Padahal konsumsi akan difokuskan pada pembelian enerji dan makanan.

Pertumbuhan kredit kepemilikan rumah akan berdampak positif terhadap penjualan dan industri furnitur. Furnitur bukanlah kebutuhan pokok. Biasanya mengikuti perkembangan bisnis properti. Jika meningkat maka penjualan furnitur juga akan naik. Saat itu, masyarakat di negara-negara itu lebih banyak spending uangnya untuk kebutuhan enerji yang harganya sudah meroket. Bukan sekali namun sudah melonjak 4-5 kali dibanding harga enerji terdahulu. Ini membuat uang lebih difokuskan kesana, dampaknya furnitur yang untuk low end market sudah pasti terpukul lebih awal. Untungnya Indonesia tidak fokus pada produksi massal sehingga memiliki karakter dan pasar tersendiri. Tetap terpukul, tinggal berikutnya seberapa dalam dampak keterpukulan atau katakanlah jatuhnya seberapa dalam. Ini yang kita belum tahu namun kita sudah lihat kondisi global saat ini.

Kalau melihat kondisi dunia khususnya pasar ekspor, it’s not easy. Kondisi global tidak bisa diprediksikan berapa lama akan berlangsung. Saya sarankan teman-teman untuk menengok lihat kondisi dalam negeri. Pemerintah seharusnya sudah berencana untuk bisa menyerap produk furnitur dalam negeri. Ini karena pasar global tidak lagi bisa diandalkan mengabsorb produk yang sama. Ini sangat penting bagi kelangsungan industri kecil dan menengah agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja atau PHK yang banyak ditakutkan. Itu yang sangat krusial untuk diantisipasi. Negara sendirilah yang harus mengantisipasi dan bertindak. Ini bisa dimulai dengan mengurangi impor produk furnitur yang selama ini membanjiri pasar dalam negeri. Cobalah untuk mengkapanyekan cintailah produk dalam negeri, dan pengusaha pun juga harus merubah mindsetnya agar tidak terlalu terpaku pada kegiatan ekspor dalam kondisi ini.

WoodNewsID: Kondisinya kan ada sistem pembayaran yang tidak bisa diterima oleh industri furnitur?

Ir. Rudy T Luwia: Ini persoalan mindset. Pertanyaannya dalam kondisi ini, apakah ada pilihan? Andai ada maka pilihlah yang terbaik, ekspor! Apalagi USD cukup bagus saat ini tapi kalau tidak ada pilihannya maka tidak akan ada gunanya. Kalau dalam kodisi tidak ada opsi pilihan, dan tetap tidak mau berubah maka anda tahu lah konsekuensinya. Jangan berfikir ambisi pribadi karena sebagai industri kan ada karyawan yang harus dipikirkan karena mereka depend on you. Kalau ownernya sudah malas untuk masuk ke pasar dalam negeri karena soal pembayaran, maka mau tidak mau akan terjadi PHK. Apakah kita seperti itu? Kalau mau enak sendiri, bisa tapi cobalah berpikir sebagai warga negara yang baik. Kondisi ini sudah seharusnya dihadapi bersama.

Jangan pernah mengandalkan pemerintah saja. Semua segmen harus bergerak bersama dan pemerintah harus membuat aturan dan prosedur lebih simpel, sambil menghilangkan biaya-biaya tinggi yang masih ada. Internal perusahaan juga harus mengefisiensikan prosesnya. Fokusnya adalah bagaimana bisa bertahan dalam kondisi dengan uncertainity tinggi. Saya umpamakan kita dalam kapal ditengah gelombang laut yang tinggi, maka jangan utamakan speed. Usahakan agar kapal tidak terbalik atau karam. Jika ada kebocoran segera tambal. Introspeksi ke dalam dulu. Jangan memikirkan speed dulu. Bisa selamat lebih penting.

Jangan pernah berpikir mau enaknya sendiri dengan tetap menekankan ekspor di tengah krisis ini. Setiap negara akan berfikir mendahulukan kepentingan nasionalnya, dan proteksi dalam negeri menjadi yang utama dalam kondisi ini. Indonesia juga melakukan hal yang sama. Impor mulai dibatasi, kalau bisa malahan di stop. Apalagi menyangkut prodfuk furnitur yang bukan kebutuhan utama seperti enerji atau makanan. Butuh perubahan mindset.

WoodNewsID: Bagaimana dengan persoalan branding di industri furnitur saat ini?

Ir. Rudy T Luwia: Branding bisa dilakukan secara komersial, atau lewat perusahaan atau pribadi milik perusahaan. Harus diakui memang untuk saat ini branding akan lebih berarti dibandingkan sebelumnya, namun kan tidak bisa dilakukan sesaat. Butuh effort, waktu dan uang guna mewujudkannya. Itu kembali pada pilihan kita sendiri. Jika mau ke arah sana maka harus dilakukan tidak hanya hari ini tapi uga sebelumnya. Anda berperilaku yang baik sebagai seorang industrialis sejati sudah menjadi branding tersendiri, efeknya kan dirasakan saat nanti pada saat kesulitan semacam ini. Buyer kalaupun tidak sempat datang ke sini tetap saja memberikan desain dan order untuk dikerjakan. Untuk yang baru agak sulit untuk memperoleh perlakuan semacam tadi. Untuk bertahan saja sudah cukup bagus lah. Indonesia ada pengecualian karna hingga kini negara kita masih memperoleh peningkatan dalam produk industri furnitur.

WoodNewsID: Untuk tahun depan, seberapa banyak pertumbuhannya?

Ir. Rudy T Luwia: Saya pikir pasti tidak akan naik. Kondisinya akan getting worse. Negara-negara maju yang menjadi traditional market lagi suffering. Mereka sedang struggle menghadapi lonjakan inflasinya, dampak awalnya adalah kenaikan suku bunga yang akan mendongkrak kenaikan kredit keepemilikan rumah. Ini berimbas, seperti yang tadi saya katakan tadi ini akan membuat menurunnya penjualan furnitur disana terutama di sektor perumahan komersial.

Peluang yang mungkin masih tersisa adalah di sektor project karena umumnya sektor ini masih memiliki uang cash, dan cash is the king. Pemilik sektor ini cenderung untuk melakukan renovasi saat bisnisnya sepi. Ini salah satu peluang yang bisa kami ambil pada saat ini sekalipun terbatas. Pasar lokal pun banyak peluangnya disektor ini, coba lah tengok dan fokus ke sini.

Saat ini butuh bergerak bersama, dan pemerintah seharusnya menciptakan kondisi yang kondusif untuk bisa merangsang industri nasionalnya berkontribusi. Buatlah regulasi yang kondusif karena regulasi kan tidak butuh duit dalam pembentukannya. Kalau bisa dipermudah kenapa harus dipersulit. Kita kan harus mengupayakan Industri atau Usaha Kecil dan Menengah yang ada bisa bertahan dalam kondisi sesulit apapun. Misal TKDN saja. Untuk bisa memenuhinya saja butuh biaya besar, apakah itu memang diperlukan. Tujuannya kan agar masyarakat juga bisa membeli dan menggunakan produk-produk itu dengan biaya yang terjangkau. Lantas apa perlu dengan menggunakan persyaratan ini dan itu. targetnya kan growing bertahap tidak bisa sekaligus.

Jangan berkehendak untuk membuat sesuatunya sempurna sejak awal. Kerjakan saja dulu toh nantinya masih bisa disempurnakan sembari berjalan. Sambil jalan disempurnakan. Jangan berharap semua sempurna. Alhasil seminar terus tapi tidak pernah dikerjakan. Yang penting adalah bagaimana agar kita semua bisa bertahan. Gelombang diluar sudah membesar. Kalau ada kebocoran ya ditambal saja. Tidak usaha berpikir untuk mempercepat laju kapal ditengah gelombang besar. Nanti jika laut sudah tenang barulah bisa speed up.

Kalau dalam kondisi begini saja malah sibuk bikin regulasi yang justru membebani daya survival kita. Butuh kesadaran birokrasi karena sektor riil bisa bertahan dan hidup. Jangan sampai pelakunya merasa terbebani dan memilih menutup usahanya sehingga memperbesar tingkat pegangguran. Kalau sudah begitu, berabe kan. dalam kondisi begini tidak ada yang enak. Semua suffer dan pemerintah harus bisa-bisa menggerakan semua sektor, semua segmen untuk bergerak bersama sehingga mungmin tidak terjadi resesi di Indonesia. Tapi kalau semua takut bergerak akan benar terjadi resesi. So far Indonesia tidak. Jadi perlu diingatkan agar bisa diantisipasi. Kan tidak ada salahnya dengan antisipasi, toh kalau terjadi kita sudah siap. Kalau tidak terjadi maka kita malah bersyukur. (WNID/eM)





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur: “Pasar akan mulai membaik”

EUDR: “Very badly written law”.

Terobosan HIMKI ke China untuk Meningkatkan Daya Saing Global