Imat Badruddin: Pemerintah harus merubah Mindsetnya

Pengamat Perdagangan Internasional dan President Indonesia Center di Washington DC, Amerika Serikat, Imat Badruddin mengeluhkan ketidak adaan upaya pemerintah dalam melakukan international marketing. Selama ini pemerintah hanya memfokuskan upaya untuk menarik investasi ke dalam negeri. "Harus ada perubahan mindset," ujarnya dalam Simposium Nasional Grand Strategic Plan pada 10 November lalu. 

Menurut Imat market driven, customer oriented, digital present, dan technology driven; harus lah diperhatikan benar dalam pemasaran internasional. Keempat ini nyaris tidak tampak dalam aksi pemasaran di Amerika Serikat. “There’s no marketing effort” terutama untuk produk furnitur di sana.  

 


Action kita dalam perdagangan internasional masihlah sangat kurang. Fokus dominan kita adalah bagaimana mendatangkan investasi ke dalam negeri, namun kita tidak mendaya gunakan pada Indonesia Trade and Promotion Center yang jumlahnya banyak dan atase perdagangan di setiap kedutaan serta konsulat Indonesa. Tidak hanya untuk produk furnitur dan kerajinan tapi keseluruhan produk dan komoditasnya.

“Kita tidak punya banyak orang untuk melayani kebutuhan yang ada. Atase perdagangan kita di Washington DC hanya dua orang, sedang Malaysia jumlahnya mencapai 150 orang. Malaysia sudah memiliki gedung yang menjadi trading centernya. Filipina bahkan lebih dulu setelah mengambil alih gedung yang dulu dimiliki Marcos. Semua orang berbagi kerja untuk semuanya di tempat itu. Kita tidak memilikinya.

“Di washington DC, etalase perdagangan terletaknya dipojok kantor atase perdagangan. Mau masuk untuk melihatnya saja susah. Sekarang ini, Vietnam dan Turki sampai menyewa showroom dan mempromosikan lewat Vietnam Weeks dan Turkish Weeks di Washington DC, Los Angeles dan Chicago. Keduanya independen dan mencoba untuk menarik perhatian target dngan menghadirkan produk-produknya. Kita butuh upaya menarik perhatian masyarakat disana terhadap produ-produk kita terutama furnitur. Malah untuk sektor ini kita tidak memiliki satu tempat yang didedikasikan khusus untuknya. Apa yang kita lakukan disana?

“Vietnam dengan nilai ekspor yang sudah sangat melampaui Indonesia dalam satu dekade terakhir, they do enhance marketing. Kita? There’s no marketing effort. Menurut saya, khususnya untuk furnitur di sana. Yang ada hanya effort pemerintah yang lebih fokus pada penguatan kebijakan internal atau domestik Indonesia. Misal kebijakan kemudahan impor material, kemudahan peraturan dan kebijakan ekspor impor. Kita lebih banyak aktivitas promarketing yang dialukan secara individual. Mohon maaf karena marketing merupakan big work. Dengan atase perdagangan yang hanya dua orang, mereka bingung memilih dan berfokus pada sekitar 20 events yang nyaris diadakan bersamaan. Akhirnya mereka meminta tolong ke diaspora Indonesia seperti saya untuk menghandlenya. Kita benar-benar kekurangan sumber daya di sana. Kalau kita bicara ekspor dan marketing maka perlu dilakukan peningkatan kualitas SDM. Kita selalu mengirim orang yang sayangnya not realy tap to the market. Dikirim hanya untuk hadir dan mewakili.

“Untuk furnitur, yang tadi sudah diulas oleh presenter dari berbagai kementerian dan lembaga sangatlah mengagumkan. Saya pernah bekerja sama dengan delegasi kemenperkraf di sana. Sangat cemerlang tapi kita hanya mendapatkan award best design. No body menjual best design award. No one support that. Menyabet penghargaan best design. Lantas pulang. That’s it.

“Kita malah tidak masuk dalam urutan tujuh besar kategori penjualan produk selama pameran. Lantas fokus mendegarkan ocehan vendor yang menyuruh menjual produk ini dan itu. Seharusnya kita yang mengatakan pada mereka apa yang hendak kita jual, bukan sebaliknya. Where is the market dan pelajari datanya. Bagaimana mengikuti semua event dan mendapatkan peserta sebanyak mungkin. Kita cenderung hook up on that. Seharusnya kita tahu bagaiman eventnya, apa saja produknya dan bagaimana karakter pengunjungnya. Analisis marketnya harus diperdalam lagi.

“Poin pertama saya untuk ekspor adalah kita harus market driven, bukan lagi production driven. Yang dilakukan sekarang seperti yang banyak dibicarakan dalam seminar ini adalah how to create the product. Kita tidak belajar dari Singapura. Tidak punya barang tapi mau menjualkan produk-produk kita. Kalau saya berkunjung pameran kunci saja, maka yang menjual produk-produk Indonesia justru orang Singapura. Saya malah tidak melihat orang Indonesia disana. Ya, memang betul produk kita tapi seharusnya ditekankan benar kehadiran dan aktivitas kita di sana. Ujung-ujungnya kita yang ditekan oleh market dan buyer.

“Ini seharusnya ditekankan oleh kementerian dan lembaga pemerintah akan perlunya peningkatan branding awareness disertai pelatihannya. Ini karena saya masih melihat project oriented, seharusnya mereka mendesain sesuai keinginan marketnya. Produk Jepara menurut saya ada marketnya tapi tidak bisa dijual di low end market. Saya melihat produk furnitur kita tidak dinamis dalam artian go through to the market.

“Lihatlah IKEA, apakah ada produk furnitur Indonesia yang dijual disana. Tidak ada yang selling IKEA design di global market. Jadi market driven sudah mulai dtekankan tapi dari pada UMKM kita.

“Belajarlah customer oriented. Saya tekankan IKEA sebelum datang ke Indonesia sudah mempelajari customer behavoir selama tujuh tahun. Surveyornya datang bertandang ke rumah potential customer untuk melakukan survei, barang apa yang diinginkan, bagaimana desainnya, hingga daya belinya. Global marketing strategicnya adalah bertarget pada assesitive customer. Orang yang berhitung berapa dana yang tersedia jika hendak membeli furnitur. Bukan mereka yang mudah mengeluarkan uang untuk membeli barang yang sama. Mereka tahu kalau target market yang sensitif terhadap harga bisa diupgrade dengan opsi desain minimalis agar bisa tampil lebih bagus. Bisa diupgrade dengan barang berharga terjangkau. Mereka pelajari benar perilaku belanja target marketnya yang biasa kita sebut sebagai kaum milenial. Kaum ini suka atau cepat bosan sehingga mudah membuang dan membeli yang baru lagi. Purchasing behavior yang tidak pernah kita pelajari. Selama ini kita selalu fokus pada manufacturing atau bagaimana memproduksi sebuah barang.

“Tadi ada presenter yang mengatakan pasar ada di e-market. Sejak lama, kami sudah mempelajari dampak penggunaan gadget pada perdagangan. Smartphone harusnya dilihat sebagai trigger bagi orang untuk purchase. Sekarang aksesnya sudah 247. Dulu sebelum tidur kita sibuk baca buku atau nonton televisi. Sekarang kita berfikir mau sarapan apa besok dan browsing informasinya sebelumnya. Ini dimanfaatkan perusahaan data collection seperti tencent. Saat kita browsing produk maka akan diketahui oleh mereka secara realtime. Jadi behavior kita diawasi dan datanya dikolek. Kita sering terima notifikasi pembelian barang atau sesuatu barang yang baru saja kita browsing.

“Kita harus persiapakan industri kita untuk bisa digital present dalam konteks B2B atau B2C. Furnitur made in Indonesia sudah terkenal tapi sayang brand awarenesnya tidak ada. Tidak dikenal. Tugas kita hari ini adalah membuatnya digital present. To do this. Technology driven it has to be. Sudah bukan opsi lagi. Kita harus melakukannya dengan teknologi.

“China lebih banyak populasinya dari Indonesia tapi China bisa menjadi leader manufacturing, kenapa? China berfokus untuk mengupgrade pada manusianya, bukan pada teknologi permesinan. Jadi mereka sangat skillful dan sangat produktif. Mereka bisa menjual kereta cepat ke Indonesia dan bilang anda tidak memiliki SDM yang dibutuhkan dalam pembangunannya. Akhirnya kita terpaksa bersandar pada kehadiran skillful chinesemen. Kita masih harus belajar lebih jauh lagi sebelum bisa mandiri.

“Empat hal yang saya soroti hari ini adalah pertama, think about market driven kapan dan dimanapun. Whatever you do, whatever you produce. Kedua, para pengusaha furnitur dan kerajinan harus customer oriented. Sudah bukan lagi what you want dan what you like to produce. Anda mungkin masih bisa bicara toh masih ada pasarnya, tapi ketika tidak laku maka siapa yang akan membelinya. Cobalah untuk memproduksi apa yang mereka kehendaki.

“Mungkin pemerintah bisa membantu karena UMKM tidak memiliki dana untuk melakukan risetnya. Data ini biasanya tidak sampai ke tangan mereka sehingga UMKM di Jepara hanya tahu memproduksi kursi ini dan itu saja. Sedang di Cibaduyut mereka hanya tahu memproduksi model sepatu ini dan itu saja. Mereka tidak tahu pasar sudah menghendaki produk yang lain. Yang suka survei biasanya pemerintah dan pengusaha yang punya bujet dan kemampuan untuk melakukan survei tanpa dibantu oleh pemerintah.

“Pengalaman saya memperlihatkan mereka yang rajin berkunjung ke Amerika itu adalah big buyer, sementara small buyernya tidak tahu kemana. Dengan menilik level edukasi (formalnya) sebagai basis maka itu tidak berlaku absurd. Saya sarankan agar lebih selected dan diupgrade terlebih dulu sebelum membawa mereka ke luar negeri. Mereka tidak serta merta tahu apa yang akan diperbuatnya. Mereka juga tidak terbiasa membaca analisis pasar. Tidak semua orang bisa dan suka membaca data-data market analytic yang sangat advance.

“Semua yang saya bicarakan tadi adalah market driven, customer oriented, digital present, dan technology driven; namun at the end its all about customer’s experience. Bukan soal kecanggihan pabriknya. Misalnya Microsoft telat mengeluarkan produk terbarunya maka yang akan marah adalah kastemernya. Jika itu terjadi maka harga saham Microsoft akan jatuh. Apapun yang dikehendaki kastemer seharusnya ditindak lanjuti, jangan pernah dihalangi karena berakibat negatif akhirnya.

“Yang harus diadjust adalah mindsetnya. Saya paham peran pemerintah dan semua yang dipresentasikan hari ini sangat amazing buat saya, hanya bagaimana semua peraturan diadjust nanti. Yang saya baca disini adalah faktor terpenting yang dilihat para konsultan dalam industri furnitur adalah birokrasi, bukan soal bagaimana membeli produknya di Indonesia.

“Pengalaman memperlihatkan sangatlah mudah membeli produk di pameran, tapi brand awareness akan produk yang diproduksi disini akan diperoleh informasinya di kedutaan besar. Katakanlah saya butuh informasi produsen pegangan untuk tas. Alih-alih mendapatkan informasinya dengan mudah, atase perdagangan memberikan buku katalog yang sangat tebal seraya berkata “Ini listnya. Ada sekitar seribu orang yang bisa bikin produk yang bapak kehendaki”. Jawaban ini tentu mengagetkan orang asing. Ini membuat kami selaku konsultan tak bisa berkata-kata, meski si asing mau membayar untuk memperoleh informasi itu.

“Ini berbeda dengan perwakilan dagang China atau Taiwan yang langsung mempersilahkan duduk dan membicarakan produk dan produsen mana yang sesuai dengan keinginan calon buyernya. Mereka bertanya apa yang dibutuhkan, berapa banyak kebutuhannya, kapan dibutuhkannya. Kita tidak bisa berproses semacam itu. Jangan lagi mengatakan, “Ini buku katalognya, silahkan anda cari sendiri”. Marketing loh. Inilah yang harus diperbaiki dari sisi marketing. (WNID/eM)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur: “Pasar akan mulai membaik”

EUDR: “Very badly written law”.

Terobosan HIMKI ke China untuk Meningkatkan Daya Saing Global