Director PT APPTimber Indonesia Fuad Adikusuma: “Ada krisis, pasti ada Opportunity”

Director PT APPTimber Indonesia Ihda Fuad Adikusuma menyebutkan masih ada harapan besar akan perbaikan kondisi bisnis di tahun 2023 mendatang. Ia mengutip pembicaraannya dengan banyak pihak yang menyebutkan akan terjadi perbaikan kondisi di kwartal pertama, dan trend ini diprediksi berlanjut di kwartal keduanya. “Ini yang membuat kami sangat confidence karena auranya sangat bagus, sangat positif dan optimis. Badai pasti berlalu. Ada krisis, pasti akan ada opportunity. Itu bisa berupa market dan pembenahan internal perusahaan”. Namun ia mengaku yang membuatnya was-was adalah tahun 2023 adalah tahun politik, semua mesin politik sudah mulai dipanaskan menjelang pemilihan presiden 2024. “The most weakness thing in Indonesia is the political things, dan ini sangat costly,” katanya. Ikuti kutipan wawancaranya dengan Redaksi WoodNewsID dibawah ini.

 WoodNewsID: Bagamana kondisi bisnis tahun ini, apakah mengalami penurunan juga?

Fuad Adikusuma: Semua, dan semua segmen kalau boleh saya bilang mengalami penurunan saat ini. Kalau waktu pandemi Covid kemarin boleh dibilang kami, APP Timber Indonesia bermain di banyak kaki, mulai dari segmen proyek, furnitur, pintu dan flooring. Tahun ini boleh dibilang semuanya sama, tiarap semua. Apalagi induk kami lebih ke furnitur. Kalau industri ini kurang bagus maka dampaknya ke kami juga kurang bagus. No complaint lah.

WoodNewsID: Ada satu dua industri besar yang mulai mengatasinya dengan beralih membuat komponen untuk pabrikan lain. Bagaimana menurut bapak tren ini?

Fuad Adikusuma: Menarik sih. Seperti yang sering kita sering diskusikan selama ini, kita butuh kolaborasi. Kompetisi yang sehat adalah kolaborasi. Bayangkan saja kalau bapak memiliki pabrik furnitur yang harus set up dari A hingga Z. Harus investasi untuk membuat sawmill dan KD sendiri, punya lini produksi. Mengurusi invetorinya saja sudah setengah mati.

Ini kayak kayu apalagi jika desainnya sendiri dan tidak mengarah pada ketebalannya, sehingga butuh distandarkan. Ini seperti kebanyakan kayu impor yang memiliki standar ketebalan baku dalam ukuran Inchi. Sementara di pasar lokal, ketebalan kayu amatlah beragam mulai dari satu Centimeter. Padahal saat produksi berlangsung, pabrikan yang kehabisan bahan baku kayu berketebalan satu centimeter lantas beralih menggunakan kayu dengan ketebalan 1,5 Centimeter. Mereka bilang tidak soal karena selisih 0,5 Centimeter. Padahal ada pemborosan sekitar 25 persen jika dipaksakan menggunakannya.

Maksud saya di dunia bisnis kita, ada kolaborasi semacam itu sehingga ada spesialisasi masing-masing. Ada yang menyediakan bahan baku saja, lainnya menjasakan penggergajian dan KD, lainnya memproduksi komponen yang dibutuhkan, juga ada yang memproduksi komponen metal. Ini kan secara cost akan lebih kompetitif karena overheadnya kecil.

Bayangkan dengan pabrikan yang memiliki semuanya dari ujung ke ujung. Katakan lah mulai dari gudang log, lantas sawmill dan KD, terus ke pembahanan dan processing, assembling hingga ke ujung terakhir, packaging. Maka bisa dibayangkan berapa banyak investasi yang harus dibenamkan. Belum lagi kalau mau mengikuti perkembangan produk seperti menggunakan komponen metal, maka harus inves lagi untuk mendirikan unit metalworking. Juga ketika muncul tren penggunaan bahan baku lain untuk dikombinasikan dengan kayu, maka akan ada kebutuhan investasi lagi. Ngeri kan?

WoodNewsID: Kebanyakan pabrikan furnitur sudah melakukan itu, inves dari A sampai Z?

Fuad Adikusuma: Yang saya lihat alasan umumnya adalah cost, quality dan ketiga bisa lebih ke trust.

WoodNewsID: Itu yang sering jadi alasan utamanya?

Fuad Adikusuma: Moga-moga perlahan bisa terjadi kolaborasi antara dua pihak yang terkait. Alasan yang terkuat dalam menumbuhkan kolborasi itu adalah kepepet dengan situasi.

WoodNewsID: Ya, benar.

Fuad Adikusuma: Berapa tahun lalu ada industri di Jawa Tengah dan Jawa Barat yang fokus mengerjakan komponen. Saat saya visit ke mereka dan menawarkan peluang barulah terungkap jika margin industri komponen sangat rendah. Itu sebabnya mereka memilih untuk mengembangkan produksinya lebih dulu ketimbang memperluas pasar komponennya.

WoodNewsID: Itu yang terjadi dan dalam kondisi yang sulit di tahun depan apakah kolaborasi bisa menjadi opsi, karena saat ini sudah tidak ada opsi bagi industri furnitur?

Fuad Adikusuma: Waduh, kalau ditanyakan ke buying agent selalu dikatakan akan ada perbaikan di kwartal pertama tahun depan. Namun itu kan hope. Sama kondisinya saat kita memasuki pandemi di awal. Siapa sih yang menyangka kalau kondisinya tiba-tiba ada boom. semua orang sangat skeptis bahkan cenderung panik, dan selau mengatakan akan ada pelambatan lah. Bahkan ada yang mengatakan kita akan lose saat itu sehingga program penghematan pun diberlakukan, dan ada bagusnya sih. Efisiensi dan penghematan membuat perusahaan menjadi lebih ramping dan lebih lincah. Ketika ternyata ada booming, opportunity bisa dialihkan menjadi profit. Jadi lebih besar karena secara cost lebih lean.

WoodNewsID: Apakah kemudian pabrik tertarik untuk beralih membuat komponen?

Fuad Adikusuma: Kan memproduksi komponen juga ada pasarnya, pasar furnitur. Kan sama juga. Saya lihat ada berapa yang mulai beralih. Hanya begini, saya diskusi dengan teman-teman di seputara Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia dan Vietnam. Hanya saja teman dari Vietnam tidak bisa memberikan pandangan yang positif sehingga harus beralih mencari nara sumber lainnya.

Dibandingkan ketika bertemu dengan para pemilik perusahaan furnitur domestik, semuanya paham bahwa kondisinya memang seperti ini dan itu melanda ke semua orang tanpa terkecuali. Yang mereka lakukan adalah mendevelop diversifikasi mulai dari produk baru, pasar baru dan kastemer baru.

Saat ini banyak yang mulai develop market baru ke India. Ini bisa jadi pasar baru sekalipun sangat price sensitive, dan semua sudah tahu. Persoalannya kan bagaimana agar kita bisa bermain disana dan itu tidak ada salahnya. Ada juga yang sudah mantab dari sisi desain sehingga dideveloplah pasar Timur Tengah. Pasar ini cakupannya tidak besar tapi sangat bagus dari sisi nilai. Itu yang saya lihat bahwa industri kita sudah lebih dari lumayan, dan kebtulan pasar baru yang digarap memberikan respon cukup bagus.

Ada juga yang develop produk dengan mengkombinasikan dengan bahan baku bersertifikasi FSC. Banyak sekali yang melakukan ini. Kami mengeskplor bahan baku mana yang cocok dengan kebutuhan development ini. Untuk kebutuhan outdoor, kami hanya rekomen jati FSC bukan beech atau oak. Yang sudah jalan seperti penggunaan eucalyptus grandis FSC. Hal semacam inilah yang perlu didukung dan saya lihat auranya positif. Marketing is the next thing namun aura yang saya tangkap dalam setiap pertemuan dengan bapak dan ibu pemilik industri furnitur sangatlah bagus. Buat saya pribadi itu sangat menggembirakan. There’s always hope. Kalau kita berusaha kan harus optimis bahkan alam semesta pun akan membantunya.

WoodNewsID: Tahun depan akan dimulai proyek IKN, dan banyak harapan kalau industri yang berorientaskan ekspor lantas berpaling untuk berkontribusi pada proyek-proyek domestik ini....

Fuad Adikusuma: Nah itu juga..... Begini berapa tahun lalu kita juga melihat gelombang eksodus teman-teman eksportir ke pasar domestik saat proyek-proyek hotel sedang marak. Sistem costing untuk eskpor dengan sistem costing untuk proyek sangatlah berbeda. Kalau sistem costing eskpor dibawa ke pasar domestik maka project owner akan melihat sangat murah. Ini terjadi karena faktor-faktor resiko tidak dimasukan ke dalam sistem costing itu. 

Beda dengan mereka yang sudah terbiasa menggarapa proyek domestik sehingga faktor-faktor resiko tadi sudah dimasukan ke dalam sistem costingnya. Sehingga secara harga akan lebih mahal. Misalnya ada owner proyek yang merasa tidak sesuai dengan bahan-bahan yang digunakan dalam sebuah produk di menit-menit terakhir sehingga meminta pabrikannya menggantinya. Dampaknya jika terjadi keterlambatan dalam deliveri, bisa jadi kontraktornya diklaim padahal mereka mengerjakan pergantian mendadak tadi. Perselisihan semacam ini, kalau hanya menang eyel-eyelan maka dampaknya pabrikan itu tidak akan bisa berpartisipasi di proyek berikutnya. Mau tidak mau ya mengalah.

Kalau yang sudah terbiasa dengan faktor resiko maka kejadian itu hanya mengurangi marjin. Itu dianggap wajar. Jika tidak memasukan faktor resikonya maka pastilah loss. Belum lagi jika terjadi kemunduran dalam penyelesaian fisik proyeknya sehingga furnitur yang sudah jadi harus menunggu 1-2 tahun sebelum diinstalasi. Akibatnya barang yang sudah jadi tidak bisa dikirim, dan juga tidak bisa ditagihkan. Sebelum dikirmk dan diinstalasi, sudah pasti barang-barang yang digudangkan butuh perbaikan ini dan itu, biaya lagi. Andaikata modal kerjanya menggunakan dana bank, maka bunganya kan tetap bergulir sampai nanti tertagihkan.

WoodNewsID: Project one year bisa jadi multi years?

Fuad Adikusuma: Nah itu, yang biasa bermain di proyek tidak jadi soal. Kalau yang biasa ekspor, sturktur biayanya kan bahan baku, bahan pembantu, overhead dan margin maka selesai sudah. Faktor resiko kan tidak pernah diperhitungkan mereka. Kalau proyeknya molor ya sudah langsung merugi, bukan berkurang keuntungannya. Faktor resiko pun amatlah beragam sehingga harus diperhitungkan dengan cermat, agar tidak menambah cost.

WoodNewsID: Ada yang berharap bisa masuk ke dalam jaringan retail besar milik asing?

Fuad Adikusuma: Itu menarik namun ritel asing ini kan tidak menjual produk saja tapi konsep. Saya baru tahun misalnya foodcourt salah satu riteler itu masuk dalam 10 foodcourt terbesar di dunia. Ritel ini tidak menawarkan produk stand alone tapi menawarkan sistem. Konsep untuk mengisi sebuah hunian berapa pun ukurannya, misalnya yang hanya berukuran 7 kali 3 meter. Yang ditawarkan adalah bagaimana mendesainnya.

Ruang pamernya sangatlah riil, misal dengan meletakan kaos kaki di lantai. Persis dengan situasi riil yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari kebaynakan masyarakat kita. Begitu riil bahkan dengan tas sekolah yang disandarkan di sebuah sofa atau kursi. Ini sangat atraktif. Bisa jadi dalam kunjungan pertama, konsumen tidak membelinya namun gambaran riil itu masuk ke dalam benaknya. Begitu ada rejeki, mereka langsung mewujudkan apa yang sudah dilihatnya. Mereka melihat konsep dan kualitas.

Mereka menawarkan sistem yang luar biasa. Kemasannya saja sangat flat sehingga apapun produkya harus bisa dikemas sedemikian agar dimesinya sangat minim, nyaris flat dan sangat efisien untuk shipment sehingga freight cost bisa ditekan. Itu konsep yang luar biasa. Kita bisa untuk bisa masuk atau merambah kesana. Namun konsep untuk menggunakan koperasi yang bisa menampung semua produk yang akan dijual ke pasar domestik, namun harus ada dirigennya yang handal. Karena tidak mungkin semua barang dikirimkan, sehingga butuh pengaturan. Butuh konsep agar tidak crowded dan semerawut sehingga orang yang datang mau membelinya.

WoodNewsID: Nyaris produk kita tidak memiliki brand dan satu-satunya brand yang dikenal luas hanya Olympic, sehingga kastemer kesulitan dan menyulitkan industri untuk masuk ke pasar lokal?

Fuad Adikusuma: Itu challenge tapi menarik karena pasar lokal saya rasa sangatlah besar. Lihat saja agresifitas ritel-ritel asing dalam membukan outlet dimana-mana.

WoodNewsID: Kita cenderung menawarkan produk, sedang mereka tawarkan konsep. Dua hal yang berbeda, apa itu memungkinkan eksportir masuk ke pasar lokal hanya dalam waktu singkat?

Fuad Adikusuma: Mungkin saja asalkan kita bisa membentuk konsepnya. Saja bisnis kafe yang sempat merebak. Berapa banyak yang bisa survice dan sukses, tapi juga berapa banyak yang tenggelam. Sekalipun hanya sekedar bisnis ini namun yang ditawarkan sesungguhnya adalah konsep yang dibawa. Misalnya kafe untuk kalangan mahasiswa dan pelajar akan berbeda konsepnya dengn kafe untuk anak-anak ABG dan instagramable. Beda lagi dengan kafe untuk kalangan eksekutif muda untuk bertemu dengan klien dan business meeting. Jadi tidak bisa asal saja.

WoodNewsID: Lantas bagaimana prediksi pertumbuhan untuk pasar domestik apalagi dibantu dengan proyek-proyek IKN? Karena pasar ekspor boleh dibilang dipredisikan nyaris tanpa pertumbuhan.

Fuad Adikusuma: Waduh susah kalau bicara itu. Saya tidak punya datanya.

WoodNewsID: Tahun depan akan jadi tahun politik. Paling tidak mesin politik sudah mulai dipanaskan.

Fuad Adikusuma: Saya kutip dari artikel yang bapak kirimkan ke saya, the most weakness thing in Indonesia is the political things, dan ini sangat costly. Bayangkan saja pemilihan presiden masih tahun 2024, gegerannya sudah mulai sekarang. Bisa jadi di tahun ini proyek-proyek sudah mulai membaik dengan adanya inquiries ini dan itu, dan development produk baru kami seperti veneer yang sebelumnya jarang dipakai; lantas kami dengar ada yang dihold. Kenapa? Dijawab karena akan memasuki tahun politik sehingga ditunda. Ini membuat kami menjadi pusing apalagi bila bermain di proyek.

WoodNewsID: Kalau dilihat dari pelemahan perekonomian selama ini maka diprediksikan tidak akan ada jor-joran pembiayan politik oleh para bohir?

Fuad Adikusuma: Sebenarnya yang teraman jika pemilihan presiden nanti berlangsung satu putaran. Cost politiknya dipastikan rendah sehingga membuat kalangan bisnis happy-happy.

WoodNewsID: Lantas apa yang bisa diharapkan di tahun depan?

Fuad Adikusuma: Kami dengar dari para pemilik industri furnitur adalah di kwartal pertama tahun depan diharapkan kondisi akan sedikit membaik. Tren ni diharapkan berlanjut di kwartal keduanya. APP Timber Indonesia banyak bergantung pada industri furnitur sehingga diharapkan cukup bisa bangkit kembali. Dari diskusi dengan industri ini, kondisi tahun depan diharapkan sama dengan kondisi di tahun 2019 sebelum pandemi. Jadi order yang akan diterima masih relatif sama, namun yang cukup memprihatinkan adalah industri furnitur yang skalanya lebih kecil. Sangat wajar jika mereka lebih memfokuskan layanan pada big buyernya.

Selama ini yang saya jumpai adalah positif auranya. Ya wis memang krisis, semua orang menghadapi hal yang sama. Saatnya kita berbenah, development, membuat perbaikan sistem dan organisasi agar industri kita ini lebih lincah. Fokus yang dilakukan saat ini adalah pembenahan sistem dan organisasi.

Targetnya adalah lincah. Hikmahnya adalah mengevaluasi diri kita. Apa yang masih bisa ditingkatkan sehingga ketika kondisi membaik maka akan bisa memanfaatkannya semaksimal mungkin.

Kuncinya adalah kelincahan. Perlu perbaikan sistem dan manajemen termasuk otomatisasi informasi sistem produksi sehingga pimpinan perusahaan bisa mengetahui secara real time apa yang terjadi dilini produksinya. Informasi itu langsung pop up di smartphonenya. Untuk itu direkrutlah lulusan Teknologi Informasi agar bisa membuatkan sistem peringatan dini yang membuatnya tahu dimana bottle neck dalam produksi setiap saat. Notifikasinya pop up realtime. Ini yang membuat kami sangat confidence karena auranya sangat bagus, sangat positif dan optimis. Badai itu pasti akan berlalu. Ada krisis, pasti akan ada opportunity. Itu bisa berupa market dan pembenahan internal perusahaan. (NWID/eM)

 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur: “Pasar akan mulai membaik”

EUDR: “Very badly written law”.

Terobosan HIMKI ke China untuk Meningkatkan Daya Saing Global