Double Strike! Daya Saing pun melorot


Strike! Dua pukulan beruntun menghantam pelaku bisnis. Yang pertama, kenaikan suku bunga acuan sebesar 0,25 persen. Kenaikan suku bunga ini untuk mengantisipasi melonjaknya inflasi. Bank Indonesia memperkirakan inflasi akan tembus 4,6 persren di akhir 2022. Proyeksi yang dikemukakan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo sejalan dengan kenaikan harga-harga komoditas yang terus berlanjut.

Meningkatnya suku bunga acuan ini akan berdampak pada peningkatan suku bunga pinjaman. Direktur Yudhistira Tri Laksono mengatakan “Saya berpikir kenaikan suku bunga kredit pada saat ini akan banyak menimbulkan Non-Performing Loan”. “Kami ambil kredit berbunga 7,5 persen pertahun dan dengan kondisi yang sangat sulit karena ancaman resesi global maka buyer akan menahan pembelian,” tambahnya. Padahal operasional perusahaan tetap berjalan. Ini menggelembungkan beban biaya yang diperparah dengan naiknya bunga bank yang harus dibayar kembali. Dampaknya, kredit macet alias NPL pun kian menguat. Menurutnya, perlu dipikirkan bagaimana strategi untuk mengatasinya dengan segera.

Pukulan kedua datang dari kenaikan harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri. Sekalipun sudah digadang-gadang akan ada kenaikan ini namun nyaris tidak ada pihak yang siap dalam menghadapinya. Seorang pengusaha di Jepara berkomentar gamblang dampak kenaikan suku bunga dan BBM yang disebutnya sangat banyak. “Berat untuk kami yang memiliki industri. Saat ini kami masih berkonsentrasi mencari solusinya”.

Kenaikan BBM dalam jangka dekat mendorong kenaikan harga bahan baku dan bahan penolong yang digunakan dalam proses produksi. Dalam jangka menengah,  berdampak pada meningkatnya biaya operasional perusahaan. Dalam jangka panjang, akan berimbas pada kenaikan upah buruh padahal tingkat produktivitas buruh di Indonesia tidak pernah meningkat. Jalan keluarnya, hanya pilihan mesinisasi namun kenaikan suku bunga membuat persoalan ini menjadi mentah kembali. Back to square one lah.

Situasi di dalam negeri yang sedang runyam ini diperparah dengan situasi pasar internasional yang juga tidak kalah runyam dan rumit. Konflik Rusia-Ukraina berimbas pada tingginya harga minyak mentah, gas dan komoditas pertanian seperti gandum. Kenaikan harga energi yang dipasok Rusia ke Eropa telah mencapai 38,3 persen, sedang kenaikan harga pangan mencapai 10,6 persen. Tingkat inflasi di zona Euro tercatat mencapai 9,1 persen.

Tingkat inflasi di Amerika Serikat pada Juli 2022 mencapai 8,5 persen. Menurun dibanding sebulan sebelumnya yang mencapai 9,1 persen. Menurut Bisnis.com, penurunan ini didorong turunnya harga gas dan sejumlah komoditas seperti gandum. Namun itu tidak berarti akan menjanjikan prospek menguatnya daya serap pasar Amerika dalam waktu singkat. Masih ada ancaman akan menguatnya tingkat inflasi menjelang musim dingin yang akan sebentar lagi menjelang.

Ketua Umum Presidium HIMKI Abdul Sobur menyebutkan tingginya tingkat inflasi di Eropa dan Amerika yang menjadi pasar utama ekspor furnitur Indonesia mendorong terjadinya penurunan belanja secara signifikan. “Produk mebel dan kerajinan merupakan kebutuhan sekunder bahkan tersier. Tingginya tingkat inflasi di Eropa Barat dan Amerika Serikat berimbas terhadap terjadinya "Market Shock" di industri mebel dan kerajinan nasional.

Lantas Sobur menyebutkan ekspor Januari-Juni 2022 dibanding ekspor dalam periode yang sama tahun sebelumnya hanya naik 9,8 persen. Sedang pada tiga bulan pertama secara kumulatif dibanding tahun sebelumnya, naik cukup signifikan sekitar 15,9 persen. Namun ekspor terbesar industri mebel dan kerajinan indonesia justru Amerika Serikat dan negara-negara Eropa yang kini daya serap pasarnya bermasalah.

Hanya Eropa Barat dan Amerika lah yang “berbelanja” dalam pasar global hingga kini. Keduanya terutama Amerika merupakan lokomotif perekonomian global yang belum tergantikan oleh Jepang, korea bahkan China dan India. Tingginya tingkat inflasi di keduanya dan berlanjutnya krisis Rusia-Ukraina dikuatirkan akan memicu gelombang resesi global.

Kemajuan industri furnitur dan kerajinan Indonesia berada di bawah bayang-bayang resesi global, sehingga perlu dipikirkan jalan keluarnya. Berdasarkan data-data terakhir dari pameran Ifex 2022, Sobur melihat adanya perubahan dalam lanskap pasar Asia Pasifik. Pengunjung terbanyak pameran yang baru usai itu justru berasal dari India. Buyer asal negeri Bollywood ini menggusur dominasi buyer Australia selama ini. Sobur melihat negeri ini bersama negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika sebagai pasar alternatif yang harus dipenetrasi di masa depan.

Bersamaan dengan itu, Ia juga melihat peluang pasar domestik yang cukup besar untuk digarap. Pasar domestik tampaknya seperti pasar yang dilupakan peluangnya dengan keasikan pelaku industri furnitur memburu Dollar. Tidak heran jika pasar ini telah lebih dulu digarap oleh produk-produk asing. Mereka bisa berjaya sementara Pemilik CV Rattan Jaya Willy Wonoto harus bersusah payah menyakinkan pasar dan pemerintah Indonesia dalam menggunakan produk furnitur berbahan rotan yang digarapnya.

Ia juga mengungkapkan produk furnitur asal Jawa tidak mungkin digunakan dalam proyek properti sepeti hotel di Medan. Tingginya biaya transportasi laut dari Jawa ke Sumatera membuat mahalnya harga jual produk asal Jawa. Pemilik proyek properti di Medan misalnya cenderung memilih produk asal Malaysia bahkan China karena “Biaya seafreight dari Malaysia atau China jauh lebih rendah dibanding biaya serupa dari Jawa ke Medan,” ungkapnya berapa tahun lalu.

Industri furnitur dan kerajinan Indonesia berada dalam kondisi serius. Dua kali pukulan telak berdampak pada melorotnya daya saingnya. Celakanya, faktor-faktor ini berada di luar jangkauan pengusaha. Butuh intervensi pemerintah. Apalagi jika hendak berekspansi ke new emerging market sekaligus menjadi tuan di rumah sendiri. (WNID)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur: “Pasar akan mulai membaik”

EUDR: “Very badly written law”.

Terobosan HIMKI ke China untuk Meningkatkan Daya Saing Global