Dilema SVLK dan FSC

 


Dilematis! Kondisi ini yang muncul akibat rencana penerapan regulasi produk bebas deforestasi Uni Eropa. Regulasi ini memutlakan verifikasi atau uji tuntas bahwa produk yang dijual ke pasar UE tidak berasal dari lahan deforetasi. Sesuai ketentuan hak asasi manusia dan untuk menghormati masyarakat adat. Komoditas yang diatur dalam rencana regulasi ini termasuk ternak, kakao, kopi, minyak sawit, kedelai dan kayu. Ini termasuk juga turunannya seperti kulit, coklat dan mebel.

Parlemen UE sebenarnya ingin memasukan beragam komoditas lainnya seperti daging babi, domba, kambing , unggas, karet, jagung, kertas bahkan arang. Parlemen juga bersikeras keseluruhan produk yang diproduksi dari lahan deforestasi tidak diperbolehkan masuk ke dalam kawasannya setelah 31 Desember 2019 lalu.

Menurut Ketua Presidium Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur, sebenarnya penerapan regulasi ini tidak menjadi persoalan bagi industri mebel nasional karena selama ini Indonesia sudah menerapkan Sistem Verifikasi Legal Kayu Indonesia alias SVLK.

Hanya saja UE tidak mengakui SVLK. Semua produk mebel dan kerajinan yang menggunakan kayu diharuskan bersertifikat Forest Stewardship Council (FSC). Ini dianggap Sobur akan membebani eksportir yang harus memiliki FSC dan SVLK sekaligus. Akibatnya, ia memperkirakan akan mengurangi daya saing produk Indonesia, karena pesaingnya hanya diwajibkan memiliki sertifikasi FSC semata.

“Kami pun tidak menduga bila sertifikasi FSC harus menjadi syarat mutlak legalitas untuk industri hasil hutan (berbahan kayu) untuk memasuki pasar Eropa,” kata Sobur. “Seharusnya prinsip dari mandatori SVLK itu berlaku dan sekaligus menggantikan FSC, toh semua kayunya yang berasal dari Indonesia” lanjutnya. Dengan SVLK seharusnya sudah cukup karena proses lacak balak dilakukan dengan sistem yang legal dan dilindungi peraturan pemerintah.

Menurutnya, Ini merupakan perjuangan belum tuntas karena mandatori “Ini akan dipertanyakan terus kegunaanya oleh kami di HIMKI” katanya. “Bila para eksportir harus memiliki FSC maka ada regulasi aturan asing yang mengatur hutan kita,” sambungnya.

Menurutnya sejak lama HIMKI menyampaikan thesis agar industri di hilir tidak perlu memiliki sertifikasi SVLK, “Agar tidak ada beban biaya dan administrasi yang menambah berat dan kami nilai itu regulasi tidak pro pada penguatan ekspor. Tidak efisien,” tegasnya.

“Kecuali SVLK punya bobot sama dengan FSC maka kami bisa memberikan pemahaman lain kepada anggota HIMKI untuk bisa melihat lebih spesifik manfaat atau tidaknya SVLK bagi anggota kami di hilir karena aturan ini memiliki bobot yang sama dengan FSC,” lanjut Sobur.

Menurutnya, pemerintah kini harus kembali membuat evaluasi mendalam terkait masalah besar ini sehingga industri kecil khususnya UMKM tidak harus menanggung beban yg tidak perlu. Ia memandang SVLK sebagai karya Merah Putih tentu diinginkan SVLK yang setara. Itu perjuangan pemerintah yang harus memastikan dunia mengakuinya!

Ia menjelaskan bahwa semua sertifikasi seperti FSC atau PEFC sangat berbiaya mahal. “SVLK lebih terjangkau UMKM dan ada subsidi dari kementrian terkait,” tegasnya. (WNID)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur: “Pasar akan mulai membaik”

EUDR: “Very badly written law”.

Terobosan HIMKI ke China untuk Meningkatkan Daya Saing Global