Analisis Ekonomi dan Bisnis Indonesia Paska Pandemi dan Jelang Pemilu 2024
Universitas Prasetiya Mulya Jakarta menggelar diskusi perekonomian dan bisnis Indonesia paska Pandemi dan Jelang Pemilu 2024. Diskusi yang menyertakan pakarf ekonomi dan praktisi bisnis ini sangat menarik, apalagi menyangkut Indonesia dan dunia usai dihantam keras oleh pandemi Covid-19. Akibatnya dunia mengalami berbagai ketidakpastian, terutama di sektor ekonomi. Ditambah lagi, di tengah pandemi, terjadi berbagai konflik yang yang mempengaruhi perekonomian global.
Rektor Universitas
Prasetiya Mulya, Prof. Dr. Djisman Simandjuntak, berharap, meski ada
ketidakpastian ekonomi dan ketidakpastian politik, jangan sampai terjadi
ketidakpastian budaya. “Kita butuh budaya untuk mencerna segala bentuk
ketidakpastian tersebut. Di tengah ketidakpastian itu, hal yang bisa kita
lakukan adalah mencari informasi sebanyak mungkin,” tegasnya, dalam Prasetiya
Mulya Economic and Business Outlook Seminar 2023: Insulation Against the
Damaging Impacts of the Post-Pandemic Policy Reversal, yang diselenggarakan
pada 18 April 2023.
Universitas Prasetiya
Mulya mengundang tujuh ahli dan praktisi untuk berbagi pandangan tentang dunia
ekonomi dan bisnis di Indonesia dalam menghadapi dampak negatif melemahnya
ekonomi global selepas pandemi. Ikuti analisisnya dibawah ini.
Dalam sesi awal, Rektor
Universitas Prasetiya Mulya Prof. DR. Djisman Simandjuntak mengungkapkan saatnya
bersiap menghadapi
era sinergi antara bisnis dan teknologi. Menurutnya, akibat
pandemi, laju pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia termasuk Indonesia,
mengalami penurunan. “Meski pemulihan perekonomian sudah mulai terjadi, kita
masih menghadapi masa-sama sulit. Saat ini Indonesia sedang berperang dengan
kenaikan angka inflasi dan meningkatnya angka pengangguran akibat pandemi,” sebutnya.
Ekspansi perdagangan tahun ini diperkirakan juga mengalami pertumbuhan amat
lambat. Salah satunya sebagai akibat dari penerapan kebijakan bisnis di China
selama pandemi.
Tahun lalu Indonesia
berhasil meraih pertumbuhan ekonomi lebih besar daripada yang diproyeksikan.
Pemicu pertumbuhan yang terpenting adalah adanya adaptasi terhadap perkembangan
teknologi. Hanya saja, meski saat ini ditemukan banyak teknologi baru, tetap perlu
waktu untuk menerjemahkan teknologi tersebut kemudian menjadikannya alat untuk
mendukung tercapainya pertumbuhan ekonomi.
Proyeksi pertumbuhan
ekonomi di Asia Timur, termasuk Asia Tenggara, diperkirakan akan mencapai lima
hingga enam persen. Tantangan bagi Indonesia dalam mencapai stabilitas
perekonomian adalah mempertahankan pertumbuhan ekonomi setidaknya pada level
lima persen. Cita-cita ini bisa dicapai, meskipun pada waktu bersamaan kita
menghadapi banyak tantangan paska penerapan kebijakan ekonomi makro dan
stimulus moneter selama masa pandemi.
Tahun 2023 juga merupakan
waktu untuk menyiapkan diri menghadapi era sinergi antara bisnis dan teknologi.
Di masa depan, bisnis yang digerakkan oleh sains (science driven business)
akan berkembang pesat.
Menurutnya, Universitas
Prasetiya Mulya telah melakukannya dengan cara meluncurkan program yang
menggabungkan bisnis dan STEM (science, technology, engineering, math).
Harapannya, sektor bisnis yang digerakkan oleh sains akan tumbuh subur di
Indonesia.
“Kita juga perlu lebih
meningkatkan perhatian pada isu keberlanjutan sosial dan lingkungan, karena hal
tersebut akan menjadi standar prosedur operasional dalam berbisnis secara
global,” katanya. Terakhir, stabilitas perekonomian juga terkait erat dengan
peningkatan kualitas SDM di dalam negeri. Pendidikan formal saja belum cukup
tanpa peningkatan kemampuan literasi, keterampilan, dan kewirausahaan. Jika
semua hal di atas bisa dicapai, maka masa sulit pasca pandemi dan tahun pemilu
2024 akan bisa kita lalui dengan selamat.
Dalam sesi berikutnya Wakil Dekan II Sekolah Bisnis dan Ekonomi Universitas Prasetiya Mulya DR. Adrian Teja, CFA, CIPM; mengungkapkan bahwa sistem perbankan Indonesia mampu mengatasi krisis perbankan yang melanda Amerika dan Eropa. Krisis perbankan yang diawali bangkrutnya Silicon Valley Bank di Amerika. Ada pula isu tentang hilangnya kredibilitas Bank Federal Reserve yang mengendalikan perekonomian di sana. Banyak pihak berpendapat, jika ditemukan beberapa bank yang mengalami keterpurukan hingga bangkrut, maka kondisi bank-bank lain di dalam negara tersebut juga kurang lebih serupa.
Keterpurukan perbankan
juga terjadi di Eropa ditandai hampir kolapsnya Credit Suisse yang berakibat
pada guncangnya pasar keuangan Swiss. Kisruh perbankan yang menimpa Amerika dan
Eropa ini bukan hanya mengakibatkan masalah di negaranya sendiri, melainkan
juga berpengaruh pada negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.
Menyikapi hal ini, kita
mesti memupuk sikap optimistis dalam memandang kondisi perekonomian Indonesia.
Percayalah bahwa sistem perbankan di Indonesia mampu mengatasi krisis perbankan
yang melanda Amerika dan Eropa. Bukan sekadar sikap optimistis yang tak
berdasar, namun bisa dilihat sendiri bahwa meski telah melalui pandemi Covid-19,
angka LDR (Loan to Deposit Ratio) atau rasio jumlah kredit berbanding
jumlah modal di Indonesia mengalami penurunan secara signifikan. Angka CAR
(Capital Adequacy Ratio) atau rasio kecukupan modal juga meningkat.
Ditinjau dari jumlah
kredit bermasalah, situasi di Indonesia juga masih bisa dikendalikan. Jumlah
perusahaan publik yang berubah menjadi perusahaan ekuitas juga terus meningkat.
Angka DAR (Debt to Asset Ratio) atau
rasio antara utang dan jumlah aset juga terbilang baik. Bisa dikatakan, perusahaan
di Indonesia sudah siap, jika terjadi likuidasi perbankan, berhubung tingkat
ketergantungan mereka yang kecil pada sektor perbankan.
Director Asia Strategic
Consulting Paolo Casadio mengatakan sekalipun laju pertumbuhan ekonomi tidak mulus, tapi
Indonesia terbebas dari resesi. Setelah perjalanan panjang
terkait upaya menstabilkan perekonomian di masa pandemi, saat ini perekonomiannegara-negaras
Asia Tenggara berada dalam kondisi normal. Artinya, laju pertumbuhan ekonomi di
negara-negara ASEAN sudah mulai meningkat dan nilainya juga sudah mendekati
atau bahkan melampaui potensi laju pertumbuhan ekonomi. Indonesia dan Malaysia
sudah mulai memasuki fase konvergensi untuk tren pertumbuhan jangka panjang.
Tren pertumbuhan GDP di
Indonesia dan Malaysia yang relatif stabil sebelum pandemi mulai mengalami
fluktuasi saat pandemi. Fluktuasi yang dialami Malaysia bahkan lebih kuat
dibandingkan Indonesia, akibat dari kebijakan total lockdown yang
diberlakukan di masa pandemi. Namun, pada tahun 2023, kedua negara sudah mulai
mencapai proyeksi laju pertumbuhan berdasarkan konsensus IMF, yaitu di angka
lima persen
Meski demikian, di masa
mendatang, kombinasi dua hal berikut bisa melemahkan laju pertumbuhan ekonomi,
yaitu reaksi masyarakat terhadap kebijakan ekonomi dan perubahan struktural
pada sistem keuangan internasional. Kerugian yang bisa ditimbulkan dari kedua
hal tersebut adalah terjadinya krisis kredit yang berimbas pada seluruh lini
pasar modal.
Indonesia bisa menghindari
resesi karena tiga faktor. Pertama, Indonesia memiliki fundamental ekonomi internal
yang kuat. Kedua, kemampuan memperbaiki investasi, yang telah berperan
mendukung perekonomian Indonesia pasca pandemi. Ketiga, kemampuan menahan
inflasi yang memungkinkan Indonesia memiliki kebijakan moneter lebih fleksibel.
Kesimpulannya, ASEAN,
termasuk Indonesia, tampaknya sudah mulai memasuki fase normal paska pandemi.
Salah satunya berkat stimulus yang masif terhadap penerapan kebijakan publik.
Di masa depan, meski laju pertumbuhan ekonomi kemungkinan tidak akan bergulir
mulus, Indonesia dan negara-negara ASEAN lain akan terbebas dari resesi berkat
fundamental ekonomi yang solid. Negara-negara ASEAN justru akan mampu melalui
masa ‘transisi besar’ pasca pandemi dengan selamat.
CEO Center for Market Education Carmelo Ferlito mengatakan Indeks kepercayaan mencerminkan kondisi perekonomian Indonesia. Ekspektasi dan kepercayaan berperan penting dalam menyusun analisis ekonomi. Pasalnya, ekonomi bukan semata-mata berbicara tentang hal-hal yang sifatnya material (tangible), melainkan juga berbicara tentang manusia, makna keberadaan mereka, serta makna dari tingkah laku mereka. Cara seorang individu membangun masa depan juga ditentukan oleh ekspektasi yang mereka miliki, serta cara mereka menginterpretasikannya.
Status kepercayaan yang
dituangkan dalam bentuk indeks merupakan sebuah indikator yang mencerminkan
kondisi perekonomian di Indonesia. Indeks kepercayaan yang dimaksud, antara
lain adalah indeks kepercayaan konsumen (Consumer Confidence Index),
indeks kepercayaan bisnis atau BCI (Business Confidence Index), dan indeks
kepercayaan manajer pembelian atau PMI (Purchasing Manager’s Index).
Bank Indonesia membagi
indeks kepercayaan konsumen menjadi tiga, yaitu CCI (Consumer Confidence
Index), CECI (Current Economic Condition Index), dan CEI (Consumer
Expectation Index). Angka CECI mengalami penurunan terbesar di awal masa
pandemi dan di awal masa lockdown.
Kepercayaan publik menurun sebagai akibat dari kurangnya konsistensi pemerintah
dalam menyusun kebijakan, serta adanya perbedaan skala penerapan kebijakan di
berbagai lapisan masyarakat. Di luar waktu tersebut, angkanya kembali relatif
stabil.
Indikator nilai PMI yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia didasari oleh lima hal, yaitu volume produksi,
volume pesanan, kecepatan pengiriman, inventarisasi, dan pekerja. Indeks PMI di
atas 50 mengindikasikan perluasan ekonomi, sedangkan nilai di bawah 50
mengindikasikan adanya kontraksi. Selama tahun 2020, PMI Indonesia secara
konstan ada di bawah 50. Angkanya baru mulai naik di atas 50 pada Q1, Q2, dan
Q4 tahun 2021, dengan penurunan pada Q3, ketika diberlakukan kebijakan PPKM
(Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat).
Ada dua hal yang memengaruhi tingkat ekspektasi publik. Pertama, skenario dan situasi perdagangan internasional. Kedua, keputusan dalam pembuatan kebijakan fiskal dan moneter. Terkait hal ini, untuk menghindari kesalahan interpretasi, maka upaya mengatasi masalah (misalnya, masalah kelebihan pasokan uang), harus dikomunikasikan dengan baik oleh pemerintah kepada masyarakat. Perlu dipilih pula jalur komunikasi resmi yang tepat, karena nantinya akan berperan sebagai elemen penghubung utama antara ekspektasi dan performa ekonomi.
Di sesi berikutnya President Center for Market Education-ID Chandra Rambey menyebutkan bisnis perhotelan lah yang paling cepat pulih, sementara perkantoran masih akan mengalami tekanan. Sektor real estate bisa memberikan indikasi tentang tren ekonomi masa mendatang. Berbagai kajian menyebutkan adanya relasi yang cukup kuat antara krisis ekonomi dan real estate. Berdasarkan penelitian panjang di Amerika, disimpulkan bahwa setiap krisis ekonomi diawali oleh penurunan investasi dan penurunan penjualan di bidang properti.
Krisis ekonomi dihadapkan
pada dua kebijakan pemerintah, yaitu kebijakan moneter dan fiskal. Kebijakan
moneter yang lemah justru akan menambah housing
bubble. Masyarakat akan tetap membeli rumah, padahal tidak punya kemampuan
yang cukup. Sedangkan krisis terus berjalan, sehingga kemampuan mereka dalam
menyelesaikan kewajiban juga menurun.Sementara itu, kebijakan fiskal memberi
keleluasaan kepada masyarakat untuk menambah jumlah utang, yang pada akhirnya
juga berdampak pada kemampuan mereka dalam menyelesaikan kewajiban.
Saat ini tingkat suku
bunga cenderung naik, karena Bank Indonesia berusaha menahan laju inflasi.
Namun, hal tersebut justru memukul para pengembang atau pelaku industri
properti. Kenaikan suku bunga akan mengurangi tingkat pembelian dan investasi
di sektor properti. Akibatnya, housing
bubble kembali terjadi.
Ada kebijakan yang
menguntungkan bagi pengembang, yaitu kemudahan bagi masyarakat untuk membayar
uang muka rumah dan PPN DTP (Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah)
yang 50 persennya ditanggung oleh pemerintah. Dua kebijakan ini mendorong
masyarakat untuk berani membeli rumah. Kebijakan ini menguntungkan di jangka
pendek dan menengah, namun bisa merugikan di masa mendatang, karena ekspektasi
masyarakat terhadap properti akan terus seperti itu.
Di masa pandemi, produk
properti yang paling terdampak adalah perumahan, apartemen, perkantoran,
retail, hotel, dan industrial estate. Usai pandemi, yang paling cepat pulih
adalah hotel. Sementara itu, properti komersial, khususnya perkantoran,
mendapat tekanan tinggi karena kebutuhan akan kantor berkurang, mengingat
perusahaan multinasional dan besar cenderung menerapkan pola kerja hibrid.
Namun, perkantoran dengan konsep green building masih menarik bagi perusahaan
multinasional.
Dosen Sekolah Bisnis dan
Ekonomi Universitas Prasetiya Mulya Eusebius Pantja Pramudya menyebutkan bila Indonesia masih
sangat tergantung pada konsumsi minyak sawit. Minyak kelapa sawit
atau CPO (Crude Palm Oil) merupakan industri terbaik yang saat ini
dimiliki Indonesia. Selain memberi kontribusi yang signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial, industri ini tak terlalu
terdampak, jika terjadi guncangan ekonomi, termasuk oleh pandemi. Di samping
itu, CPO juga menjadi komoditas yang serba guna. Kebutuhan akan minyak sawit
terbilang tinggi tak hanya di sektor pangan, tetapi juga untuk biodiesel dan
oleochemical.
Indonesia menempati posisi
dominan di dunia sebagai negara produsen minyak sawit. Meski kebutuhan akan
minyak sawit terus meningkat, rata-rata panen menurun. Alasan utamanya,
produktivitas pohon sawit masih terbilang rendah. Akibatnya, target yang ditetapkan
pemerintah sulit dicapai, karena performa produktivitas masih rendah dalam
rentang dua tahun terakhir.
Permintaan minyak sawit
masih banyak untuk memenuhi kebutuhan ekspor, tetapi itu pun menurun karena
transportasi yang sulit akibat pandemi. Ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa
tingkat ekspor sudah membaik, karena kebutuhan yang meningkat setelah
terjadinya konflik antara Ukraina dan Rusia. Pasar ekspor masih terkonsentrasi
pada Cina, India, dan Pakistan. Sementara itu, negara Eropa justru menunjukkan
penurunan permintaan.
Konsumsi domestik yang
meningkat untuk makanan dan biodiesel membuat Indonesia juga menjadi konsumen
sawit terbesar. Ini menunjukkan bahwa Indonesia punya tingkat kepercayaan yang
tinggi terhadap biodiesel sebagai keamanan energi. Namun, kita menghadapi
situasi yang sulit. Tak bisa dipungkiri bahwa harga biodiesel berada di atas
harga bensin. Memproduksi biodiesel dengan harga ekonomis menjadi tantangan
besar. Diperlukan peran Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit untuk mengelola
situasi ini agar minyak sawit bisa terus memainkan peran besar bagi ekonomi
Indonesia, terutama di bidang energi.
Indonesia masih sangat
tergantung pada konsumsi minyak sawit yang terus meningkat. Resesi global tidak
akan terlalu berpengaruh terhadap market yang terus bertumbuh. Harapannya,
tahun ini harga sawit akan meningkat, setelah sebelumnya sempat cenderung
menurun. Ketika terjadi konflik antara Ukraina dan Rusia, orang berpikir bahwa
harga sawit akan naik. Kenyataannya, justru sebaliknya.
Dosen Sekolah Bisnis dan
Ekonomi Universitas Prasetiya Mulya Albert Hasudungan, Ph.D., mengatakan
Indonesia membutuhkan lebih banyak investasi untuk energi terbarukan.
Minyak dan gas memainkan tiga peran penting. Pertama, sebagai consumer good untuk rumah tangga dan
transportasi. Kedua, sebagai faktor penting dalam proses produksi di berbagai
industri. Ketiga, sebagai sumber daya yang esensial dalam aktivitas ekonomi.
Berdasarkan data dari International
Energy Association, konsumsi minyak terbesar adalah untuk transportasi,
sementara konsumsi gas terbesar adalah untuk industri. Industri makanan dan
minuman, UMKM, dan industri rumah tangga menggunakan gas untuk mendukung
aktivitas ekonomi mereka.
Terlepas dari
ketidakpastian politik dan situasi perdamaian yang terjadi di Timur Tengah,
sebagian besar minyak diimpor dari sana. Di sisi lain, Indonesia juga
mengekspor gas, tetapi sedang mengalami penurunan akibat eksplorasi gas yang
belum memadai. Investasi migas lebih banyak terfokus pada produksi minyak yang value
added-nya kecil, sementara eksplorasi dan teknologi penyimpanan masih belum
dikembangkan.
Dalam enam bulan terakhir,
harga BBM dan gas menurun akibat dari sentimen positif ekonomi global. Namun,
kurangnya eksplorasi dan pengembangan energi terbarukan dalam jangka panjang
akan mengancam keamanan energi di Indonesia.
Harga minyak mungkin akan
sedikit meningkat di masa mendatang, jika suplai terganggu oleh kejadian yang
mengguncang situasi ekonomi dan militer, khususnya Perang Timur Tengah.
Menariknya, minyak juga menyuguhkan kesempatan yang baik. Tekanan akan sumber
daya minyak yang langka akan menarik investasi swasta, baik asing maupun
domestik, untuk mengembangkan energi terbarukan di Indonesia sebagai alternatif
bahan bakar di masa mendatang.
Gas juga mengalami
tantangan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia terletak pada pengembangan industri,
terutama UMKM. Tanpa sistem produksi gas yang mencukupi, para pelaku usaha akan
dihadapkan pada kenaikan harga, sedangkan pengetahuan mereka tentang energi
terbarukan belum mencukupi. Tetapi, Indonesia punya relasi yang baik dengan
Rusia. Bukan hanya mengandalkan impor, investasi teknologi gas dari Rusia akan
mampu menjawab masalah ketidakamanan energi di Indonesia.
Ada beberapa kebijakan
energi yang bisa diterapkan di Indonesia. Misalnya, dibutuhkan lebih banyak
investasi untuk energi terbarukan demi mengatasi masalah ketidakamanan energi.
Kebijakan fiskal bertujuan mengurangi subsidi minyak untuk mengurangi beban
anggaran fiskal sekaligus meningkatkan iklim investasi di Indonesia agar
menarik lebih banyak investasi. Di samping itu, Indonesia perlu mengembangkan
transportasi publik yang nyaman, yang bisa mengangkut banyak orang sekaligus,
misalnya kereta dan bus listrik. Hal ini bisa menekan permintaan minyak yang
berlebihan, yang datang dari transportasi swasta di luar Jawa.
Senior Fellow, Centre for
Strategic and International Studies; Dosen Sekolah Bisnis dan Ekonomi Universitas Prasetiya Mulya RIZAL
SUKMA mengungkapkan bahwa hasil polling hanya indikator, bukan lah data akurat. “Selama
seminar ini, saya mendengar banyak istilah ‘ketidakpastian’. Para ahli ekonomi
mengatakan, ketidakpastian ekonomi didorong oleh ketidakpastian politik.
Sementara itu, para pengamat politik menyebutkan, ketidakpastian politik
disebabkan oleh ketidakpastian ekonomi,” uajrnya mengawali sesi presentasinya.
Saat ini semua orang bisa
merasakan suhu politik di 2023 mulai meningkat. Ada tiga isu yang ramai
dibicarakan orang. Pertama, spekulasi tentang kandidat presiden. Ketika
mendapatkan hasil survei terhadap publik yang dilakukan oleh sejumlah
institusi, kita bisa melihat siapa yang punya peluang lebih besar untuk jadi
presiden. Kedua, pembentukan koalisi dari berbagai partai politik. Koalisi
sudah ada yang terbentuk, tetapi kita tidak tahu apakah koalisi ini akan
bertahan atau berubah menjelang pemilu nanti. Ketiga, tentang apakah pemerintah
yang baru dipilih akan melanjutkan kebijakan yang sudah ditetapkan pemerintah
sekarang.
Situasi saat ini masih
sangat tidak menentu, masih bisa berubah dengan mudah. Hasil polling yang kita
lihat hanya berfungsi sebagai indikator. Kita baru akan mendapatkan data yang
akurat ketika memasuki 2024. Karena, saat ini kita belum tahu siapa kandidat
yang sesungguhnya, juga berapa pasangan yang akan menjadi calon presiden dan
wakil presiden nanti.
Sempat terjadi perdebatan
tentang perpanjangan masa jabatan presiden. Sebagian ekonom mengatakan,
seandainya situasi ekonomi tahun ini atau tahun depan baik, kita perlu
memperpanjang masa pemerintahan presiden sekarang untuk beberapa tahun lagi
agar tidak mengganggu tren positif tersebut. Kalau ekonomi semakin tidak pasti
atau tidak baik, kita juga perlu memperpanjang masa pemerintahan yang saat ini
menjabat. Pemilu akan digelar sesuai waktu yang dijadwalkan. Pembicaraan
tentang perpanjangan masa jabatan atau penundaan pemilu seharusnya tidak ada
lagi.
Seharusnya kampanye pemilu
nanti lebih berfokus pada isu kebijakan. Kita belum mendengar diskusi tentang
hal ini di antara partai politik, karena tidak tahu siapa yang akan menjadi
kandidat, sehingga tidak tahu cara pandang mereka tentang suatu isu yang penting
bagi Indonesia. Semua akan menjadi jelas pada 25 November 2023, yang menjadi
tenggat waktu pendaftaran dan pengumuman kandidat. Setelah itu kita bisa
mendorong kandidat untuk berpikir dan bicara lebih banyak tentang isu kebijakan
yang berdampak pada Indonesia. (WNID/eM)
Komentar
Posting Komentar